Ini Cerpen pertama yang aku buat semenjak ikut UKM Penulis... Sempet dipuji juga sama senior... Cekidot ya..;) (minta sarannya juga)
NB: Jangan heran baca judulnya...xixixi :D
Criiing!
Aku
tidak tahu kenapa tiba-tiba Dani
ingin
pergi begitu saja. Dia adikku
satu-satunya, dan sekarang sudah mulai sibuk dengan tetek bengek urusan
sekolahnya. Biasanya
setiap sore dia akan membawakanku coklat dan bernyanyi untukku sampai malam
sambil melihat bintang-bintang . Tidak tahukah dia, aku masih
ingin ada yang menemani. Setidaknya ada yang menggantikan Ayah yang selalu
pura-pura tak peduli.
Siang
ini ku lihat dia berdiri gugup dihadapanku. Pandangan matanya melayang kemana-mana.
Aku jadi sedikit tak suka
dengan dia yang berusaha bersikap dewasa dihadapanku. Kadang ku temukan sosok ayah disetiap tingkah laku maupun
perkataannya. Perfeksionis dan tegas. Itu yang kadang membuatku jengkel.
“
Kak nin, sepertinya aku gak bisa kesini
sesering sebelumnya. Kamu tahu, Ujian
Nasional sudah dekat dan aku harus serius menyiapkannya...”,
ujarnya. Aku tertawa kecil
melihatnya gugup seperti ini.
“
Berapa?”
“
Apanya?”
“
Ah bilang saja, kamu pasti ingin minta uang pesangon untuk biaya les dan ini itu, kan. Aku tahu Ayah gak mungkin ngurusin kamu. Dia selalu gak
peduli dengan kita. Sudah, jujur saja!”
Dia
terpaku sejenak menatapku, hingga kemudian beralih keluar jendela kamarku yang berbingkai putih. Ayah mengajakku
pindah kesini beberapa bulan yang lalu. Vila keluarga kami yang jauh dari keramaian kota. Kamarnya sempit, lembap, sedikit perkakas, dan semuanya serba tua.
Hanya warna catnya yang putihlah yang aku sukai dari
tempat ini. Dan sejak itulah ayah jarang menyapaku, bahkan menjengukku pun tidak.
“
Aku gak butuh itu kak. Aku…hanya takut kau akan merasa kesepian”, kata Dani.
Oh, adikku ini memang pengertian
sekali, beda dengan ayah.
“Nggak.
Gak apa. Pergilah kalau kamu ingin pergi”, kataku akhirnya. Tak bisa aku hindari bahwa
sebenarnya aku ingin menangis. Menyadari, bahwa tak akan ada lagi yang
diam-diam membelikanku coklat. Mengingat
makanan yang disini amat tidak aku suka.
Ayah
sekarang melarangku keluar rumah. Aku benci ini. Ini berarti aku harus sering
berbicara dengan mbok Marti. Pembantuku yang tua dan tuli itu. Aku harus
berteriak ketika berbicara dengannya.
“
Oh, oke… Sepertinya, aku harus pergi sekarang”, Dani beranjak dari ranjang
kecilku yang tak empuk. Aku tarik tangannya, memaksanya duduk lagi didepanku.
“Ritual
sebelum kamu pergi”, ucapku dengan seringai jahil. Sial, padahal aku sedih
sekali. Aku tatap adikku satu-satunya ini. Kugenggam tangan kanannya dengan
tangan kiriku. Sedang tangan kananku diatas kepalanya. Seperti yang kami
lakukan semenjak kecil. Dia akan memenjamkan mata dan mengucapkan permohonan.
Aku akan membayangkan menjadi peri
ajaib sambil mengucapkan, “Criiing…!”. Saat itulah kami yakin permintaan kami, apapun itu, pasti akan terkabul.
***
Mimpi. Semua orang hidup karena mimpi. Entah itu mereka
akui atau tidak, setiap orang pasti punya keinginan aneh, jauh didalam hatinya,
yang tak bisa diungkapkan kepada orang lain. Entah itu terlalu memalukan atau
terlalu tidak mungkin, entahlah, tapi pasti ada.
Ah, aku jadi teringat dongeng-dongeng sebelum tidur. Apa
jadinya kehidupan ini tanpa adanya cerita-cerita dongeng. Cerita-cerita yang
melepaskan logika dari dalamnya. Aku tahu hal-hal yang ada di dalamnya hanyalah
takhayul belaka. Tapi hanya dengan itulah aku merasa masih ada harapan. Bahwa
di dunia ini masih ada kejaiban, yang entah itu benar ada atau tidak.
Dongenglah yang mendekatkan ayah, aku dan Dani. Saat masih kecil aku dan Dani selalu senang apabila ayah
membacakan kami dongeng sebelum tidur. Itu menjadi rutinitas kami, meski ayah
terlalu sibuk tapi selalu meluangkan waktu lima belas hingga dua puluh menit
untuk membaca kisah-kisah yang mungkin baginya amat bodoh. Peterpan, Kapten
laba-laba, pasukan bolibili, peri labu, juga banyak yang lainnya.
“Cring...!”, ayah
akan mengerakkan tangannya melingkar didepan muka kami. Kami hanya bisa
mengerjab-ngerjapkan mata bahagia diantara sinar lampu tidur yang menggoda
kantuk.
“ Semoga mimpi indah ya...”, ujar ayah selalu. Ritual itu
selalu ditutup dengan kecupan hangat dikening. Didalam tidur kami akan disambut
oleh tokoh-tokoh dongeng kesukaan kami. Berenang di sungai perak, naik balon
udara dengan peri labu, atau menyusuri hutan ajaib tempat pasukan bolibili
tinggal. Begitu indahnya!
Kami termasuk keluarga yang suka traveling. Setiap akhir
bulan selalu ada saja tempat yang bisa dikunjungi. Pada suatu waktu ayah
berjanji akan mengajak kami pergi ke Disney Land kalau kami bisa lulus ujian
semester dengan baik. Seingatku, kami telah berada diatas mobil dan bersiap
untuk pergi.
“
Kakak, jangan lupa pasang sabuk pengaman ya...”
Tiba-tiba pusing yang amat sangat menyerangku. Meja makan
didepanku perlahan-lahan terlihat buram. Aku mencoba mencari-cari pegangan tapi
tak bisa. Di separuh kesadaran mataku menangkap bayangan mbok Marti berdiri
disamping pintu. Perempuan tua itu hanya memandangku kosong. Baru saja aku
ingin berteriak kepadanya, pandanganku langsung gelap. Yang terasa kemudian
hanya dinginnya ubin yang menusuk kulit.
***
Aku bangun ketika matahari telah mencium horizon barat.
Aroma teh yang dibawa masuk angin sore menyambut penciumanku. Tirai yang
menutup jendela berkibar-kibar, menandakan anginnya cukup keras. Tiba-tiba ada
sesosok tua dari balik tirai terlihat meletakkan sesuatu disamping meja rias.
Aku tersentak sebelum menyadari itu adalah mbok Marti yang meletakkan makan
malamku.
“ Makan, non. Setelah itu mandi ya, mbok sudah siapkan air hangat
buat
non”, kemudian dia segera beranjak
dengan langkah lambatnya.
“ Dani? Apa dia datang, mbok?”, tanyaku dengan intonasi
yang tinggi untuk memastikan dia mendengar apa yang aku katakan.
Si mbok menoleh sebentar. “ Iya, tadi datang sebentar.
Nitip coklat buat non”. Kemudian dia benar-benar pergi. Entahlah, mungkin
kedapur. Seringkali aku lihat dia menyibukkan diri di kebun milik ayah di
belakang vila. Wanita yang misterius, tak banyak bicara. Kalau bukan karena
lama bekerja dikeluargaku, aku tidak akan betah tinggal serumah berdua dengan
orang tuli itu.
Aku beranjak dari ranjang yang mengeluarkan bunyi setiap
diduduki. Ah, berapa lama lagi aku bisa bertahan dengan kondisi ini. Semuanya
serba tak enak. Kulirik makanan diatas meja. Sop dan tahu. Menu yang sama
beberapa hari kemarin. Sebenarnya apa sih maunya si mbok itu. Kenapa tak
sekalian berikan aku bubur saja. Entah kenapa aku selalu diperlakukan seperti
orang sakit ditempat ini.
Beberapa saat setelah merutuk sendiri, terdengar suara
dari balik jendela. Seperti suara Dani, batinku. Tapi apa mungkin? Kulongokkan
kepala dari balik tirai. Pucuk dicinta ulampun tiba. Adikku itu berdiri di
gazebo tua depan kamar. Dia melambaikan tangan menyuruhku mendekat. Aku ambil
jaket, dengan tak lupa mengikat rambut panjangku seperlunya saja. Semenit
kemudian aku telah berada di atas gazebo. Angin malam yang menusuk tubuh
kurusku berusaha tak kuhiraukan.
“ Criiing...!”, Dani menyodorkan sekotak besar coklat.
Dilengannya menggelayut gitar akustik kesayangannya yang sudah lama tak
kulihat. Senyum lebarnya itu serentak membuatku berhambur kepelukannya.
Aku benar-benar kaget dan bahagia. Meski baru dua hari
yang lalu Dani bilang akan jarang mengunjungiku, sekarang kedatangannya ini
benar-benar menjadi obat yang sangat mujarab untuk membunuh kesepian. Hal
selanjutnya bisa ditebak, kami bernyanyi dan menghitung bintang sampai larut
malam.
“ Kak...”, bisik Dani. Permainan gitarnya berhenti, yang
terdengar tinggal gmerisik dedaunan teh yang dihembus angin malam dan auman
serigala dari kejauhan.
“Humm...?”, tanyaku sambil mengosok-gosokkan kedua
telapak tangan, mencari kehangatan. Aku sibuk membayangkan, apa peri labu
mengintip kami dari atas sana, brsama bintang-bintang.
“Apa kau masih percaya keajaiban?”, pertanyaan itu
membuatku menoleh kearahnya. Kutemukan mata elangnya sedang memandangku dengan
sayu. Tak pernah kurasakan tatapan Dani yang seaneh ini.
Dan pertanyaannya itu, pertanyaan yang membuatku ingat
akan sesuatu. Entah apa itu, aku serasa dibawa kelorong waktu dan diseret ke suatu
tempat dimasa lalu.
“Apa masih ada keajaiban?”, tanpa sadar aku mengulang
pertanyaan itu. Kutatap bintang-bintang yang sedang berpendar dilangit malam
yang hitam. Mencari-cari mungkin diatas sana ada jawaban. Ah, entah mengapa
tiba-tiba perasaanku serasa kosong.
“ Apa masih ada keajaiban...?”, ulangku lagi. Tak ada
yang menjawab. Sunyi.
Kutolehkan muka kearah Dani. Kosong. Dia tak berada
disana. Yang ada hanya sisa-sisa bungkus coklat yang telah habis. Tanpa
kusadari, kuhela nafas berat yang menyekat kerongkongan. Susah untuk mencerna ini. Harusnya Dani
disini, disampingku, sama seperti malam-malam sebelumnya.
Untuk kedua kalinya aku merasa diseret kelorong waktu dan
tempat yang asing dimasa lalu. Semua berputar seperti film dokumenter sejarah
usang yang tak ingin dibuka lagi. Mungkin karena menyakitkan. Tidak, ini amat
menyakitkan.
“
Kakak, jangan lupa pasang sabuk pengaman ya...”
Pusing itu datang menyerang lagi. Kali ini lebih sakit
dari yang kemarin. Aku lupa sudah seberapa sering ini terjadi. Sepertinya
berulang-ulang, tapi aku tak ingat. Suara derum mobil berputar-putar di otakku.
Kututup telinga, namun itu tak membuatnya berhenti. Aku berteriak
sekuat-kuatnya, memohon untuk dia berhenti. Nihil.
“Kakak,
jangan lupa....”
Aku ingat suara ini. Ya, aku ingat sekarang. Suara Ibu.
Lalu semuanya gelap.
***
Mbok Marti menghela nafas prihatin. Ditatapnya sosok
belia dihadapannya dengan penuh kasih sayang. Diusapnya kening putih gadis itu,
dingin. Selalu begini setiap malam, menghabiskan waktu diluar. Pingin lihat
bintang, katanya.
Sekarang tubuh kurus itu sudah kembali keatas ranjang.
Diselimuti dan dikompres. Bermacam pikiran berkelabat dikepala mbok Marti. Melayang
pada apa yang selama ini terjadi. Memikirkan apa benar pilihannya ini adalah
keputusan terbaik
Nina Wijaya. Yatim piatu. Sebatang kara, sudah setahun lebih.
Menyedihkan? Ya. Itulah yang membuatnya tergerak hati untuk merawat gadis muda
ini seorang diri. Kecelakaan mobil membuat semua anggota keluarganya meninggal
di tempat. Nina yang delapan belas tahun tak dapat menerima kenyataan. Tak ada satupun
kerabat yang mau merawatnya, karena sang ayah ternyata meninggalkan hutang yang
menumpuk. Semua harta disita, tak ada yang bersisa. Tinggal vila tua dan kebun
kecil ini.
Sempat dia hilang selama empat hari. Polisi menemukan
didaerah perkampungan kumuh, melumat rokok dan pakaiannya tak lengkap lagi. Banyak
orang bilang jiwanya sudah terganggu, sehingga beberapa hari kemudian dibawa
kerumah sakit. Tapi dia tak betah, sering berteriak dan mencoba bunuh diri.
Tiba-tiba mata almond dihadapan mbok Marti itu terbuka.
Si tua itu kontan kaget dan berdiri. Memastikan bahwa Nina tak melakukan hal
yang tidak-tidak. Itulah yang selama ini si mbok lakukan, berpura-pura tuli
karena takut si juragan gilanya itu kumat tiba-tiba.
Nina
terlihat meraih sesuatu dibalik bantalnya. Sesuatu yang sudah lama dia simpan
dan dan selalu dipastikan keberadaannya sebelum tidur. Benda berkilat itu dia
tatap tajam-tajam.
“
Criing... Criiing... Criiing....”, dengan seringai aneh Nina mengiris-iris ulu
nadinya. Raut wajahnya seperti bahagia. Semua terjadi begitu cepat. Warna merah
darah melena diatas seprei yang serba putih. Mbok Marti hanya bisa berteriak.
Tubuhnya yang renta tak bisa melakukan apa-apa.
Lima menit kemudian tak ada yang tahu, ada dua tubuh
tergeletak didalam vila tua milik keluarga Wijaya itu. Seorang tua yang pingsan,
dan satunya gadis muda yang cantik, namun kurus karena tekanan jiwa.
Ditangannya tergenggam kuat sebilah pisau yang berlumurkan darah. Bibirnya
bergerak-gerak seakan sedang mengucapkan sesuatu.
Rupanya dia membayangkan menjadi seorang peri. Sekarang
dia merasa mempunyai dua sayap. Raganya menjadi ringan seperti terbang. Kesadaran
yang perlahan-lahan hilang disedot oleh sakit yang mengiris tak membuatnya
berhenti bergumam, lirih.
“ Criiing...criiing...criiing...”
0 komentar:
Posting Komentar