Selasa, 22 Mei 2012

Cerpen: Criiing!


Ini Cerpen pertama yang aku buat semenjak ikut UKM Penulis... Sempet dipuji juga sama senior... Cekidot ya..;) (minta sarannya juga)
NB: Jangan heran baca judulnya...xixixi :D
Criiing!
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Dani ingin pergi begitu saja. Dia adikku satu-satunya, dan sekarang sudah mulai sibuk dengan tetek bengek urusan sekolahnya. Biasanya setiap sore dia akan membawakanku coklat dan bernyanyi untukku sampai malam sambil melihat bintang-bintang . Tidak tahukah dia, aku masih ingin ada yang menemani. Setidaknya ada yang menggantikan Ayah yang selalu pura-pura tak peduli.
Siang ini ku lihat dia berdiri gugup dihadapanku. Pandangan matanya melayang kemana-mana. Aku jadi sedikit tak suka dengan dia yang berusaha bersikap dewasa dihadapanku. Kadang ku temukan sosok ayah disetiap tingkah laku maupun perkataannya. Perfeksionis dan tegas. Itu yang kadang membuatku  jengkel.
Kak nin, sepertinya aku gak bisa kesini sesering sebelumnya. Kamu tahu, Ujian Nasional sudah dekat dan aku harus serius menyiapkannya...”, ujarnya. Aku tertawa kecil melihatnya gugup seperti ini.
“ Berapa?”
“ Apanya?”
“ Ah bilang saja, kamu pasti ingin minta uang pesangon untuk biaya les dan ini itu, kan. Aku tahu Ayah gak mungkin ngurusin kamu. Dia selalu gak peduli dengan kita. Sudah, jujur saja!”
Dia terpaku sejenak menatapku, hingga kemudian beralih keluar jendela kamarku yang berbingkai putih. Ayah mengajakku pindah kesini beberapa bulan yang lalu. Vila keluarga kami yang jauh dari keramaian kota. Kamarnya sempit, lembap, sedikit perkakas, dan semuanya serba tua. Hanya warna catnya yang putihlah yang aku sukai dari tempat ini. Dan sejak itulah ayah jarang menyapaku, bahkan menjengukku pun tidak.
“ Aku gak butuh itu kak. Aku…hanya takut kau akan merasa kesepian”, kata Dani. Oh, adikku ini memang pengertian sekali, beda dengan ayah.
“Nggak. Gak apa. Pergilah kalau kamu ingin pergi”, kataku akhirnya. Tak bisa aku hindari bahwa sebenarnya aku ingin menangis. Menyadari, bahwa tak akan ada lagi yang diam-diam membelikanku coklat. Mengingat makanan yang disini amat tidak aku suka.
Ayah sekarang melarangku keluar rumah. Aku benci ini. Ini berarti aku harus sering berbicara dengan mbok Marti. Pembantuku yang tua dan tuli itu. Aku harus berteriak ketika berbicara dengannya.
“ Oh, oke… Sepertinya, aku harus pergi sekarang”, Dani beranjak dari ranjang kecilku yang tak empuk. Aku tarik tangannya, memaksanya duduk lagi didepanku.
“Ritual sebelum kamu pergi”, ucapku dengan seringai jahil. Sial, padahal aku sedih sekali. Aku tatap adikku satu-satunya ini. Kugenggam tangan kanannya dengan tangan kiriku. Sedang tangan kananku diatas kepalanya. Seperti yang kami lakukan semenjak kecil. Dia akan memenjamkan mata dan mengucapkan permohonan. Aku akan membayangkan menjadi peri ajaib sambil mengucapkan, “Criiing…!. Saat itulah kami yakin permintaan kami, apapun itu, pasti akan terkabul.
***
Mimpi. Semua orang hidup karena mimpi. Entah itu mereka akui atau tidak, setiap orang pasti punya keinginan aneh, jauh didalam hatinya, yang tak bisa diungkapkan kepada orang lain. Entah itu terlalu memalukan atau terlalu tidak mungkin, entahlah, tapi pasti ada.
Ah, aku jadi teringat dongeng-dongeng sebelum tidur. Apa jadinya kehidupan ini tanpa adanya cerita-cerita dongeng. Cerita-cerita yang melepaskan logika dari dalamnya. Aku tahu hal-hal yang ada di dalamnya hanyalah takhayul belaka. Tapi hanya dengan itulah aku merasa masih ada harapan. Bahwa di dunia ini masih ada kejaiban, yang entah itu benar ada atau tidak.
Dongenglah yang mendekatkan ayah, aku dan Dani.  Saat masih kecil  aku dan Dani selalu senang apabila ayah membacakan kami dongeng sebelum tidur. Itu menjadi rutinitas kami, meski ayah terlalu sibuk tapi selalu meluangkan waktu lima belas hingga dua puluh menit untuk membaca kisah-kisah yang mungkin baginya amat bodoh. Peterpan, Kapten laba-laba, pasukan bolibili, peri labu, juga banyak yang lainnya.
“Cring...!”, ayah  akan mengerakkan tangannya melingkar didepan muka kami. Kami hanya bisa mengerjab-ngerjapkan mata bahagia diantara sinar lampu tidur yang menggoda kantuk.
“ Semoga mimpi indah ya...”, ujar ayah selalu. Ritual itu selalu ditutup dengan kecupan hangat dikening. Didalam tidur kami akan disambut oleh tokoh-tokoh dongeng kesukaan kami. Berenang di sungai perak, naik balon udara dengan peri labu, atau menyusuri hutan ajaib tempat pasukan bolibili tinggal. Begitu indahnya!
Kami termasuk keluarga yang suka traveling. Setiap akhir bulan selalu ada saja tempat yang bisa dikunjungi. Pada suatu waktu ayah berjanji akan mengajak kami pergi ke Disney Land kalau kami bisa lulus ujian semester dengan baik. Seingatku, kami telah berada diatas mobil dan bersiap untuk pergi.
“ Kakak, jangan lupa pasang sabuk pengaman ya...”
Tiba-tiba pusing yang amat sangat menyerangku. Meja makan didepanku perlahan-lahan terlihat buram. Aku mencoba mencari-cari pegangan tapi tak bisa. Di separuh kesadaran mataku menangkap bayangan mbok Marti berdiri disamping pintu. Perempuan tua itu hanya memandangku kosong. Baru saja aku ingin berteriak kepadanya, pandanganku langsung gelap. Yang terasa kemudian hanya dinginnya ubin yang menusuk kulit.
***
Aku bangun ketika matahari telah mencium horizon barat. Aroma teh yang dibawa masuk angin sore menyambut penciumanku. Tirai yang menutup jendela berkibar-kibar, menandakan anginnya cukup keras. Tiba-tiba ada sesosok tua dari balik tirai terlihat meletakkan sesuatu disamping meja rias. Aku tersentak sebelum menyadari itu adalah mbok Marti yang meletakkan makan malamku.
“ Makan, non. Setelah itu mandi ya, mbok sudah siapkan air hangat buat non”, kemudian dia segera beranjak dengan langkah lambatnya.
“ Dani? Apa dia datang, mbok?”, tanyaku dengan intonasi yang tinggi untuk memastikan dia mendengar apa yang aku katakan.
Si mbok menoleh sebentar. “ Iya, tadi datang sebentar. Nitip coklat buat non”. Kemudian dia benar-benar pergi. Entahlah, mungkin kedapur. Seringkali aku lihat dia menyibukkan diri di kebun milik ayah di belakang vila. Wanita yang misterius, tak banyak bicara. Kalau bukan karena lama bekerja dikeluargaku, aku tidak akan betah tinggal serumah berdua dengan orang tuli itu.
Aku beranjak dari ranjang yang mengeluarkan bunyi setiap diduduki. Ah, berapa lama lagi aku bisa bertahan dengan kondisi ini. Semuanya serba tak enak. Kulirik makanan diatas meja. Sop dan tahu. Menu yang sama beberapa hari kemarin. Sebenarnya apa sih maunya si mbok itu. Kenapa tak sekalian berikan aku bubur saja. Entah kenapa aku selalu diperlakukan seperti orang sakit ditempat ini.
Beberapa saat setelah merutuk sendiri, terdengar suara dari balik jendela. Seperti suara Dani, batinku. Tapi apa mungkin? Kulongokkan kepala dari balik tirai. Pucuk dicinta ulampun tiba. Adikku itu berdiri di gazebo tua depan kamar. Dia melambaikan tangan menyuruhku mendekat. Aku ambil jaket, dengan tak lupa mengikat rambut panjangku seperlunya saja. Semenit kemudian aku telah berada di atas gazebo. Angin malam yang menusuk tubuh kurusku berusaha tak kuhiraukan.
“ Criiing...!”, Dani menyodorkan sekotak besar coklat. Dilengannya menggelayut gitar akustik kesayangannya yang sudah lama tak kulihat. Senyum lebarnya itu serentak membuatku berhambur kepelukannya.
Aku benar-benar kaget dan bahagia. Meski baru dua hari yang lalu Dani bilang akan jarang mengunjungiku, sekarang kedatangannya ini benar-benar menjadi obat yang sangat mujarab untuk membunuh kesepian. Hal selanjutnya bisa ditebak, kami bernyanyi dan menghitung bintang sampai larut malam.
“ Kak...”, bisik Dani. Permainan gitarnya berhenti, yang terdengar tinggal gmerisik dedaunan teh yang dihembus angin malam dan auman serigala dari kejauhan.
“Humm...?”, tanyaku sambil mengosok-gosokkan kedua telapak tangan, mencari kehangatan. Aku sibuk membayangkan, apa peri labu mengintip kami dari atas sana, brsama bintang-bintang.
“Apa kau masih percaya keajaiban?”, pertanyaan itu membuatku menoleh kearahnya. Kutemukan mata elangnya sedang memandangku dengan sayu. Tak pernah kurasakan tatapan Dani yang seaneh ini.
Dan pertanyaannya itu, pertanyaan yang membuatku ingat akan sesuatu. Entah apa itu, aku serasa dibawa kelorong waktu dan diseret ke suatu tempat dimasa lalu.
“Apa masih ada keajaiban?”, tanpa sadar aku mengulang pertanyaan itu. Kutatap bintang-bintang yang sedang berpendar dilangit malam yang hitam. Mencari-cari mungkin diatas sana ada jawaban. Ah, entah mengapa tiba-tiba perasaanku serasa kosong.
“ Apa masih ada keajaiban...?”, ulangku lagi. Tak ada yang menjawab. Sunyi.
Kutolehkan muka kearah Dani. Kosong. Dia tak berada disana. Yang ada hanya sisa-sisa bungkus coklat yang telah habis. Tanpa kusadari, kuhela nafas berat yang menyekat kerongkongan.  Susah untuk mencerna ini. Harusnya Dani disini, disampingku, sama seperti malam-malam sebelumnya.
Untuk kedua kalinya aku merasa diseret kelorong waktu dan tempat yang asing dimasa lalu. Semua berputar seperti film dokumenter sejarah usang yang tak ingin dibuka lagi. Mungkin karena menyakitkan. Tidak, ini amat menyakitkan.
“ Kakak, jangan lupa pasang sabuk pengaman ya...”
Pusing itu datang menyerang lagi. Kali ini lebih sakit dari yang kemarin. Aku lupa sudah seberapa sering ini terjadi. Sepertinya berulang-ulang, tapi aku tak ingat. Suara derum mobil berputar-putar di otakku. Kututup telinga, namun itu tak membuatnya berhenti. Aku berteriak sekuat-kuatnya, memohon untuk dia berhenti. Nihil.
“Kakak, jangan lupa....”
Aku ingat suara ini. Ya, aku ingat sekarang. Suara Ibu.
Lalu semuanya gelap.
***
Mbok Marti menghela nafas prihatin. Ditatapnya sosok belia dihadapannya dengan penuh kasih sayang. Diusapnya kening putih gadis itu, dingin. Selalu begini setiap malam, menghabiskan waktu diluar. Pingin lihat bintang, katanya.
Sekarang tubuh kurus itu sudah kembali keatas ranjang. Diselimuti dan dikompres. Bermacam pikiran berkelabat dikepala mbok Marti. Melayang pada apa yang selama ini terjadi. Memikirkan apa benar pilihannya ini adalah keputusan terbaik
Nina Wijaya. Yatim piatu. Sebatang kara, sudah setahun lebih. Menyedihkan? Ya. Itulah yang membuatnya tergerak hati untuk merawat gadis muda ini seorang diri. Kecelakaan mobil membuat semua anggota keluarganya meninggal di tempat. Nina yang delapan belas tahun tak dapat menerima kenyataan. Tak ada satupun kerabat yang mau merawatnya, karena sang ayah ternyata meninggalkan hutang yang menumpuk. Semua harta disita, tak ada yang bersisa. Tinggal vila tua dan kebun kecil ini.
Sempat dia hilang selama empat hari. Polisi menemukan didaerah perkampungan kumuh, melumat rokok dan pakaiannya tak lengkap lagi. Banyak orang bilang jiwanya sudah terganggu, sehingga beberapa hari kemudian dibawa kerumah sakit. Tapi dia tak betah, sering berteriak dan mencoba bunuh diri.
Tiba-tiba mata almond dihadapan mbok Marti itu terbuka. Si tua itu kontan kaget dan berdiri. Memastikan bahwa Nina tak melakukan hal yang tidak-tidak. Itulah yang selama ini si mbok lakukan, berpura-pura tuli karena takut si juragan gilanya itu kumat tiba-tiba.
            Nina terlihat meraih sesuatu dibalik bantalnya. Sesuatu yang sudah lama dia simpan dan dan selalu dipastikan keberadaannya sebelum tidur. Benda berkilat itu dia tatap tajam-tajam.
            “ Criing... Criiing... Criiing....”, dengan seringai aneh Nina mengiris-iris ulu nadinya. Raut wajahnya seperti bahagia. Semua terjadi begitu cepat. Warna merah darah melena diatas seprei yang serba putih. Mbok Marti hanya bisa berteriak. Tubuhnya yang renta tak bisa melakukan apa-apa.
Lima menit kemudian tak ada yang tahu, ada dua tubuh tergeletak didalam vila tua milik keluarga Wijaya itu. Seorang tua yang pingsan, dan satunya gadis muda yang cantik, namun kurus karena tekanan jiwa. Ditangannya tergenggam kuat sebilah pisau yang berlumurkan darah. Bibirnya bergerak-gerak seakan sedang mengucapkan sesuatu.
Rupanya dia membayangkan menjadi seorang peri. Sekarang dia merasa mempunyai dua sayap. Raganya menjadi ringan seperti terbang. Kesadaran yang perlahan-lahan hilang disedot oleh sakit yang mengiris tak membuatnya berhenti bergumam, lirih.
“ Criiing...criiing...criiing...”


0 komentar:

Posting Komentar

 

Leben Notizen Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template