Selasa, 22 Mei 2012

Berlayar ke Andromeda

0 komentar
Hahaha... kayaknya sekarang aku bakal banyak ngepost cerpen nih, (sombong) :p. Ini cerpen pertama dimana aku bikin sudut pandang orang pertama laki-laki.
Ceritanya sih cerita cinta, meski gak tahu kok bisa-bisanya ini cerpen jadi beneran (loh?). Sebenernya sih aku mau netepin genre tulisan ke 'family'. Eh, tapi gak apa deh ini, moga gak jelek-jelek banget yaaa...


Berlayar ke Andromeda
Aku selalu membayangkan diriku adalah seorang nahkoda. Kapalku adalah kapal yang tak besar, namun kuat dan megah. Setiap hari yang kulakukan hanya berlayar dan berlayar. Terkadang menepi hanya untuk mendapatkan tambahan makanan. Namun aku lebih suka melaut. Melepaskan sauh dan menjauh dari daratan. Karena ketika yang ada hanya air dan langit, semuanya akan tampak sangat menawan bagiku. Ya, serasa hanya ada aku dan kamu, bintang yang bersinar sangat terang diatas sana, yang selalu ada mengobati siksa perjalanku yang tak tahu kapan akan berakhir.
Kamu terlalu bersinar. Kamu Andromeda yang menembus gelisah makhluk-makhluk malam yang resah. Juga selalu memberi kesan mendalam disetiap hati yang pura-pura tak peduli. Porsi sinarmu melebihi bintag-bintang lainnya, seakan tak pernah redup, bertambah setiap harinya. Ketika terang-terangan aku memujimu,  kamu bilang, aku biasa saja. Dengan penuh kutatap bola matamu yang bening, tak ada kebohongan disana. Betapa murninya ketulusan yang kamu berikan pada semua orang disekitarmu.
Pertama bertemu denganmu hari serasa dipenuhi bunga-bunga. Bahkan aku dapat mencium wanginya, merasuk hingga kehati. Ya, mungkin benar wangi pesonamu itu meracuni hatiku. Rasanya tidak dapat dihindari lagi. Mungkin ini yang namanya mengagumi, ataukah jatuh hati?
Bisa dibilang aku adalah tipe pria yang susah jatuh cinta. Banyak wanita yang menyerah ditengah jalan saat mendekatiku. Dan yang bisa aku lakukan hanyalah tetap berdiri tegak di atas kapal keangkuhanku. Satu persatu dari mereka memilih untuk singgah ke kapal lain. Ada yang tetap tinggal, rela menjadi budak di kapalku yang kuat dan megah ini. Mereka datang dan pergi dengan kusuruh. Jangan salahkan aku, mereka yang memilih.
Lupakan sejenak wanita-wanita tak spesial itu.  Sekarang akan aku bercerita tentang Andromedaku. Menurutku, dia seperti malaikat yang dibungkus tubuh manusia. Indah. Tutur katanya santun dan dia juga pintar.

Cerpen: Criiing!

0 komentar

Ini Cerpen pertama yang aku buat semenjak ikut UKM Penulis... Sempet dipuji juga sama senior... Cekidot ya..;) (minta sarannya juga)
NB: Jangan heran baca judulnya...xixixi :D
Criiing!
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Dani ingin pergi begitu saja. Dia adikku satu-satunya, dan sekarang sudah mulai sibuk dengan tetek bengek urusan sekolahnya. Biasanya setiap sore dia akan membawakanku coklat dan bernyanyi untukku sampai malam sambil melihat bintang-bintang . Tidak tahukah dia, aku masih ingin ada yang menemani. Setidaknya ada yang menggantikan Ayah yang selalu pura-pura tak peduli.
Siang ini ku lihat dia berdiri gugup dihadapanku. Pandangan matanya melayang kemana-mana. Aku jadi sedikit tak suka dengan dia yang berusaha bersikap dewasa dihadapanku. Kadang ku temukan sosok ayah disetiap tingkah laku maupun perkataannya. Perfeksionis dan tegas. Itu yang kadang membuatku  jengkel.
Kak nin, sepertinya aku gak bisa kesini sesering sebelumnya. Kamu tahu, Ujian Nasional sudah dekat dan aku harus serius menyiapkannya...”, ujarnya. Aku tertawa kecil melihatnya gugup seperti ini.
“ Berapa?”
“ Apanya?”
“ Ah bilang saja, kamu pasti ingin minta uang pesangon untuk biaya les dan ini itu, kan. Aku tahu Ayah gak mungkin ngurusin kamu. Dia selalu gak peduli dengan kita. Sudah, jujur saja!”
Dia terpaku sejenak menatapku, hingga kemudian beralih keluar jendela kamarku yang berbingkai putih. Ayah mengajakku pindah kesini beberapa bulan yang lalu. Vila keluarga kami yang jauh dari keramaian kota. Kamarnya sempit, lembap, sedikit perkakas, dan semuanya serba tua. Hanya warna catnya yang putihlah yang aku sukai dari tempat ini. Dan sejak itulah ayah jarang menyapaku, bahkan menjengukku pun tidak.
“ Aku gak butuh itu kak. Aku…hanya takut kau akan merasa kesepian”, kata Dani. Oh, adikku ini memang pengertian sekali, beda dengan ayah.
“Nggak. Gak apa. Pergilah kalau kamu ingin pergi”, kataku akhirnya. Tak bisa aku hindari bahwa sebenarnya aku ingin menangis. Menyadari, bahwa tak akan ada lagi yang diam-diam membelikanku coklat. Mengingat makanan yang disini amat tidak aku suka.
Ayah sekarang melarangku keluar rumah. Aku benci ini. Ini berarti aku harus sering berbicara dengan mbok Marti. Pembantuku yang tua dan tuli itu. Aku harus berteriak ketika berbicara dengannya.
“ Oh, oke… Sepertinya, aku harus pergi sekarang”, Dani beranjak dari ranjang kecilku yang tak empuk. Aku tarik tangannya, memaksanya duduk lagi didepanku.
“Ritual sebelum kamu pergi”, ucapku dengan seringai jahil. Sial, padahal aku sedih sekali. Aku tatap adikku satu-satunya ini. Kugenggam tangan kanannya dengan tangan kiriku. Sedang tangan kananku diatas kepalanya. Seperti yang kami lakukan semenjak kecil. Dia akan memenjamkan mata dan mengucapkan permohonan. Aku akan membayangkan menjadi peri ajaib sambil mengucapkan, “Criiing…!. Saat itulah kami yakin permintaan kami, apapun itu, pasti akan terkabul.
 

Leben Notizen Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template