Senin, 20 Februari 2012

Hujan Pertama

Haaii people,,,! Sekarang saya hadir dengan cerpen baru saya, sempat diikutkan lomba cerpen se-universitas, tapi sekarang masih belum pengumuman. Semoga suka dan ditunggu komennya..:)

HUJAN PERTAMA
Oleh: Nona Elana K

Suasana kelas riuh rendah siang itu. Retno,si ketua kelas, sibuk cuap-cuap di depan dengan kerudung putihnya yang agak tidak keruan. Cewek tomboy itu cukup kerepotan mengatur teman-temannya yang semangat memberikan pendapat. Rapat kelas sedang membicarakan tentang tema apa yang akan  mereka pakai untuk album kenangan saat keulusan nanti. Kelas XII bahasa  ini memang ingin memberi sesuatu yang berbeda untuk foto mereka nanti.
            Di pojok kelas, bangku nomor dua dari belakang , Aish sibuk menekuri buku bahasa inggris di atas mejanya. Tapi, jika dilihat lebih teliti lagi, kedua bola mata indah itu tidak sedang membaca kumpulan kata di depannya. Pandangan itu terpaku , pikirannya melayang ke hal lain. Sesuatu yang terjadi satu jam yang lalu. Sesuatu yang membuatnya berpikir tak keruan.
            “ Aku pulang duluan…”, sebuah suara pelan terdengar.
            Dari belakang Aish, terdengar suara kursi terdorong. Sosok jangkung itu melangkah dengan lesu sambil menarik tas ransel hitamnya yang cukup berat. Aish memperhatikan dengan ekor matanya. Dia pandang sosok itu dari belakang. Padahal rapat kelas belum selesai, dan tidak mungkin Retno akan membiarkan seorangpun keluar tanpa ikut berpendapat, apalagi dia adalah pengurus kelas.
            “Nda...“, tanpa sadar bibir Aish memanggil nama itu. Ups, dia langsung menutup mulutnya yang tanpa komando mengeluarkan suara, ia tak mengerti apa yang akan dilakukan selanjutnya. Bersamaan dengan itu, sosok yang hanya beberapa langkah didepannya itu menoleh.
            “Hm?“
            Aish bisu. Pandangannya beralih ke kusen jendela yang abu-abu. Tanpa sadar dia memperbaiki posisi duduknya semula.
            “ Yang tadi itu, jangan salah paham ya…”, setelah berapa lama akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Beberapa detik kemudian Aish merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa dia menanyakan hal sekonyol itu. Aish menatap mata itu beberapa detik, tapi akhirnya memalingkannya lagi.
            Nanda terdiam, terlihat memikirkan sesuatu.“ Maksudmu?”
            Tangan Aish serasa lunglai seketika. Oh Tuhan, apa yang harus dikatakannya sekarang. Ternyata Nanda tidak paham dengan apa yang dia pikirkan. Aish mulai menyadari, mungkin hanya dirinya yang terlalu repot mementingkan hal-hal yang sepele.
            “ Eerrr... Ah, bukan apa-apa kok. Hehe, nggak penting. Udah pulang sana…gih…”, kata Aish salting dengan mengibaskan tangannya bercanda, mengusir Nanda pulang. Nanda memandanfnya penuh tanda tanya. Yang dipandang hanya memasang cengiran khasnya, berusaha memberitahu bahwa dia baik-baik saja.
            Nanda pun berbalik, berniat untuk pulang beneran. Aish kembali menunduk, matanya mengerjap-ngerjap tidak percaya atas apa yang barusan dilakukannya. Beberapa detik berlalu, Aish yakin Nanda sudah benar-benar pergi. Setelah menenangkan diri dan sedikit menggerutu,dia memutuskan untuk memastikan bahwa cowok itu sudah pergi. Betapa kagetnya dia, menemukan Nanda ternyata telah berbalik dan sekarang berdiri satu meter didepannya. Tatapan mata Nanda tak tentu arah, bingung ingin memulai dari mana.
            “ Dia...cuma bercanda, kan?“, tanya Nanda akhirnya. Tidak menatap Aish, hanya menunduk menekuri lantai kelas yang hitam.  Reflek Aish membenarkan letak kerudung putihnya. “Haaa??“. Rasa kaget membuatnya tak bisa berpikir cepat saat ini.
            “ Dia...“, ujar Nanda dengan menunjuk seseorang di samping Aish dengan ekor matanya. Aish kontan menoleh. Disana ada Intan yang sedang meneriaki Dimas yang tidak segera mengembalikan penghapusnya. Teman sebangku Aish itu memang terkenal ceriwis. Ah, Aish sadar sekarang Nanda tahu apa yang dimaksudkannya tadi.
            Cewek berjilbab itu mengerjapkan matanya tanda mengerti. “Dia?“, tanya Aish dengan jempol menunjuk ke arah Intan, memastikan. Nanda mengangguk. Wajahnya yang kusut tak berani Aish tatap lama-lama. “ Emmm, iyaah. Dia..bercanda kok...“, kata Aish akhirnya dengan naga lega yang sangat kentara. Tak sadar kepalanya ikut mengangguk-angguk jenaka. Nanda hanya bisa tersenyum tipis. Seperti ada setitik air menyejukkan wajahnya yang kusut. Hanya setitik, dan itu membuat Aish tidak yakin akan apa yang ada dipikirkan cowok itu. Nanda memang susah ditebak, itu pendapat sebagian besar  teman-temannya.
            “ Oke...“, kata Nanda kikuk, membalikkan badan dengan tangan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Entahlah, rasa aneh selalu mengikuti Aish belakangan ini. Rasa yang baru dia sadari ketika ada beberapa getar aneh di perutnya ketika bertemu Nanda. Ia tak mengerti itu apa, yang ia tahu hanya perasaan aneh.
            Nanda lolos keluar kelas. Pandangan Aish mengikutinya. Sampai sosok itu menuruni tangga, sampai ujung rambutnya lama-kelamaan tak terlihat lagi. Aish menarik nafas, dan melemparkan wajahnya keatas buku bahasa Inggrir yang tebal. Dia tahu, sekarang mukanya pasti merah padam. Dipukul-pukulnya bangku dengan gemas.
            “ Bodooh…!”

***
            Aishah Nur Arafah. Nama yang indah, pemberian abi kepadanya 17 tahun yang lalu. Abi bilang, beliau ingin putrinya seperti istri Rasulullah, yang cantik, cerdas, lincah dan ceria itu. Abi juga bilang bahwa ingin Aish seperti cahaya di padang Arafah yang memberi tenang di dalam hati. Itu kata abi, satu tahun lalu ketika Aish menemani beliau dirumah sakit. Sebelum abi pergi untuk selama-lamanya karena penyakit diabetesnya.
            Waktu itu Aish masih kelas sebelas. Di sekolah dia dikenal sebagai anak yang pintar dan periang. Meskipun tidak begitu tinggi, Aish bisa dikatakan manis dan imut. Kulitnya sawo matang dan matanya bolak indah seperti buah almond. Namun kepergian abi sangat berpengaruh terhadap perubahan sifatnya satu minggu kemudian. Aish menjadi sedikit murung dan jarang berbicara di kelas. Bahkan Intan yang ceriwis pun tidak bisa membuat teman sebangkunya itu kembali seperti semula.

Tiga minggu yang lalu…
            Hari ini sembilan hari setelah kepergian abi. Nanda menghampiri Aish saat jam istirahat. “ Jangan cemberut terus, ntar tambah jelek…”, kata Nanda sambil berlalu begitu saja. Cepat, singkat, padat. Aish sedikit kaget, matanya  beralih dari Nanda ke permen lollipop dan selembar stiker di atas bangkunya. Sebelumnya mereka tidak pernah akrab berbicara. Mungkin hanya karena Nanda adalah wakil ketua kelas dan Aish adalah bendahara kelas, keduanya hanya ngobrol sesekali.  Apalagi di sekolah Aish dikenal sebagai siswi berprestasi yang aktif di kegiatan rohis SMA. Orang jarang melihat Aish dekat dengan teman lawan jenisnya.
            Nah, sekarang, Nanda si anak basket yang juga anak rohis itu, yang katanya cuek itu, mengagetkan Aish dengan memberikannya lolipop dan stiker. Ia baca stiker itu, Show your respect for our family in Palestine.  Rupanya kegiatan rohis SMA se-kabupaten sedang menggalang dana untuk saudara-saudara muslim di Palestina. Ah, saat itulah Aish sadar, dirinya sudah lama tidak aktif di kegiatan dakwah sekolah. Selama abinya sakit hingga beliau tiada, Aish jadi jarang datang ke perkumpulan rohis dan tidak tahu kalau ada acara besar*yang akan diselenggarakan.
            Astaghfirullah… Aish langsung beristighfar dalam hati. Dia sudah futur, meninggalkan kewajiban karena perasaan sedih yang menderanya. Akhirnya Aish sadar, tidak seharusnya dia seperti ini. Kebetulan hari itu hari rabu, sepulang sekolah biasanya anak-anak rohis berkumpul untuk kajian maupun rapat. Di masjid sekolah, Aish menemukan teman-temannya sedang sibuk melakukan beberapa kegiatan. Para siswa sedang membuat beberapa pernak pernik panggung di teras masjid, sedangkan para siswi sedang membicarakan sesuatu di dalam masjid.
            Aish melirik sebentar kearah  Nanda yang tak melihat kedatangannya, kemudian bergabung bersama teman-teman akhwat yang sepertinya sedang asik membicarakan sesuatu.
            “Assalamualaikum..“
            “Waalaikumsalam, eh, ada anggota baru nih...hehe“, kata Shinta. Aish tersenyum tak enak mendengar sindiran itu.
            “ Maaf ya, temen-temen, aku udah jarang dateng. Sebagai gantinya aku bersedia melakukan apa aja untuk menyukseskan acara ini...“
            “Ah, gak apa-apa, Ish...”, ujar Shinta dengan tersenyum mahfum.“ Kita semua ngerti kok, duduk sini gih… Kita ada sedikit masalah mengenai blablablabla….”
            Mulai hari itu Aish kembali lagi seperti sediakala.  Dia mulai sibuk di kegiatan rohis, aktif dalam pelajaran di kelas dan tawa serta celotehan lucunya telah kembali menghiasi wajah imutnya tiap hari. Tidak ada yang tahu apa penyebab sebenarnya Aish seperti ini. Yang tahu hanya Aish sendiri, mengapa belakangan dia merasa lebih bersemangat ke sekolah, mengapa sekarang dia lebih memperhatikan penampilannya, mengapa dia lebih suka bersenandung.
            Nanda. Mungkin nama inilah penyebab Aish bersikap aneh. Dimulai sejak Nanda memberikan lolipop saat dia sedang dirundung kesedihan waktu itu, Aish tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Bahwa tanpa sadar ia melakukan hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, dan menyukai apa*yang sebelumnya tidak begitu ia suka. Jangan kira Aish tidak berusaha bersikap biasa saja. Dia selalu berusaha untuk tidak terlalu interest ketika melihat Nanda sedang latihan basket. Dia juga selalu berusaha untuk tidak tersedak ketika Nanda mengajaknya berbicara tentang uang kas kelas atau tentang pelajaran.
            Nanda itu tipe orang yang cuek, sedikit bicara dan sekali bicara bisa membuat semua orang terpaku. Bisa di bilang Aish dan Nanda adalah dua kutub magnet yang berbeda, dan mempunyai sifat yang bertolak belakang. Pernah sewaktu jam istirahat Dimas menjahili Aish yang sedang serius membaca , kerudungnya di ikatkan ke kursi belakang. Aish yang tidak tahu apa-apa buru-buru membereskan buku dan beranjak untuk keluar karena telah ditinggal teman-temannya ke kantin.
            “Aish, jangan berdiri!”, kata Nanda dari belakang Aish dengan agak berteriak. Cewek itu kontan diam, kaget kenapa Nanda tiba-tiba meneriakinya begitu. Terdengar cowok itu melangkah menghampirinya, duduk dibangku belakangnya. Aish merasa Nanda sedang melepaskan kerudungnya dari ikatan sesuatu.
            “ Eh, makasih…”, kata Aish, tak sadar mukanya perlahan bersemu merah. Ia tahu, meskipun begitu dekat, Nanda tak menyentuhnya. Dia hanya melepasakn kerudung Aish dengan cepat, lalu berdiri. “ Kerjaannya si Dimas tuh…”, ucap Nanda singkat lalu berlalu meninggalkan Aish yang membatu.
            Kemudian, ketika pulang sekolah dan hujan pertama di bulan Desember mengguyur kota, Aish duduk sendirian didepan pos satpam. Sekolah sudah lumayan sepi dan hujan tak kunjung reda.“ Belum pulang?”, tanya Nanda.
            Aish menggeleng, “ Nunggu jemputan nih…”.
            Nanda terlihat berpikir dan kemudian berkata, “ Rumahmu lumayan dekat, kan? Nih, bawa payungku aja“, ujarnya yang membuat Aish melongo heran.
            “ Lha, gak usah. Terus kamu mau pake apa?“
            “ Aku Cuma nunggu angkot ini kok. Tenang aja...“, kata Nanda sambil meletakkan payung didekat Aish. Cowok itu lari keluar gerbang, memanggil angkot yang kebetulan sudah datang. Aish terpaku ditempatnya. Perasaan hangat menjalari hatinya saat memandang payung biru yang tergeletak disampingnya.
            Lagi. Nanda melakukan kebaikan pada Aish, tapi*kemudian pergi begitu saja. Selalu seperti itu gayanya. Aish menggerutu dalam hati, antara aneh dan senang menanggapi sikap Nanda yang irit bicara itu.
***
            Hingga tibalah siang itu, ketika Aish melakukan tindakan bodoh, menanyakan kepada Nanda tentang sesuatu hal konyol. Nanda sudah pergi, tapi Aish tetap tak bisa mengangkat kepalanya dari balik buku. Masih malu.
            Begini ceritanya,satu jam sebelumnya, Intan berteriak setelah pelajaran bahasa Inggris selesai. “Aish… Kita sekelompok lho…Yeee”.
            “ Oya? Siapa lagi temen kelompok kita?”
            “ Aaaa, kita juga sekelompok dengan dein Freund lho… Hehehe...“, kata Intan dengan tertawa centil.
            “ Ha? Siapa maksudmu?”, kata Aish kaget. Sejak kapan dia punya pacar? Tiba-tiba saja Intan berbicara tanpa beban seperti itu.
            “ Satria… Ah, Aish, gak usah bohong deh, aku tahu kok…”, kata Intan sambil mencoel pipi Aish kemudian beranjak pergi. Aish mengerutkan kening tak percaya. Sejak kapan muncul gosip tak bertanggung jawab itu? Bingung dia, sepengetahuannya, dia dan Satria hanya suka berdebat dan sharing tentang pelajaran. Dasar Intan, anak satu itu memang suka menyimpulkan sesuatu dengan gampangnya.
            Aish langsung was-was. Ia tolehkan kepalanya kebelakang, disana Nanda terlihat sedang mengerjakan latihan soal di bukunya. Tak menutup kemungkinan dia mendengar apa yang di omongin Intan barusan. Kemudian munculah pikiran aneh itu. Pikiran tak nyaman. Aish khawatir Nanda akan mempercayai gosip itu dan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.
***
            Pagi harinya setelah kejadian konyol itu, Aish tidak bisa tidur nyenyak. Dan hujan membuatnya harus berangkat sekolah dengan jalan kaki. Mamanya tidak mungkin mengantarkan karena letak sekolah dan kantor mama berlawanan arah. Aish jadi teringat payung biru pinjaman dari Nanda. Dia bawa payung itu dalam tas untuk dikembalikan ke empunya, sedangkan dia memakai payung berwarna merah muda kesayangannya.
            Sesampai disekolah, Aish merasakan aura yang aneh. Kelas tak ramai seperti biasanya. Padahal ini sudah menunjukkan pukul 06.45. Hanya Via yang ditemukannya sedang duduk sendiri dengan memegang handphonenya, sibuk mengirim sms.
            “ Via, kenapa sepi banget?”, tanya Aish sambil meletakkan tasnya. Tidak biasanya kelas yang terkenal ramai ini masih sepi, sedangkan kelas lainnya sudah penuh dengan para siswa.“ Via…?”, tanya Aish lagi karena Via tak kunjung menjawab. Didekatinya Via, ditemukannya cewek itu sedang mengetik sms dengan terburu-buru dan alis berkerut.
            “Ada apa sih, Vi?”, tanya Aish tambah heran. Sekarang Via berpaling kearah Aish yang menunggu jawaban. Penasaran. Ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak.
            “ Aish… Ini gak mungkin, Ish… Ini mimpi,kan?”, tanya Via terbata. Tangannya gemetaran memegang handphone, digenggamnya tangan Aish.
            “Apanya?”, tanya Aish tak sabar.
            “ Nanda… kecelakaan, Ish…”. Aish menelan ludah. Aliran darah ditubuhnya serasa berhenti, dingin menyelimuti tengkuknya setelah mendengar hal itu. Firasat buruknya saat pertama masuk kelas tadi serasa terbukti.
            “Nanda…”, lanjut Via kemudian, “..dia.. udah meninggal, Ish…”.
            Aish benar-benar lemas. Serasa ada petir menyambar hatinya di pagi yang dingin itu. Lututnya serasa tak kuat untuk berdiri, dia gemetaran. Dia menjatuhkan diri di samping Via. Berharap sekali bahwa hal yang barusan didengarnya hanyalah halusinasi.
            “ Tadi pagi temen-temen udah pada dateng. Terus Dimas smsin berita itu, semua pada ke rumah Nanda. Pas aku dateng kelas udah kosong begini, si Intan baru sms aku...“.Aish masih diam. Dia baru sadar dia lupa membawa handphone kaena terburu-buru. Pandangannya kosong, berusaha mencerna perkataan Via barusan, berusaha percaya bahwa Via memang sedang tidak bercanda. Aish merasa mukanya sudah mati rasa. Tanpa dikomando buliran air mata itu jatuh dengan sendirinya.
            “ Ini cepet banget, Ish… Katanya pas pulang kerja part time tadi malem, dia ditabrak mobil, tabrak lari. Kamu tahu kan, ini Nanda… Kemaren baru aja dia ngobrol sama aku, kita sekelompok... Kok bisa sih, Ish... Kok bisa?“, cerocos Via tak terkontrol. Bibir Aish bisu, dia tidak bisa berkomentar apa-apa karena yang hanya wajah Nanda dipikirannya. Wajah Nanda yang mengalami kecelakaan. Membayangkan wajah Nanda yang salting pas Aish menanyakan hal konyol kemarin. Bagaimana mungkin Aish menerima kenyataan bahwa dia sudah gak ada?
            Semua kejadian tentang Nanda berputar di kepala Aish, permen lolipop, stiker, kerudung, payung, dan hujan... Semua itu terjadi hanya dalam sebulan. Sebulan yang membuat Aish cukup sering memikirkan tentang Nanda. Sikapnya yang acuh, yang tak banyak omong, kebiasaan Nanda yang main pergi begitu saja, semua sikap Nanda yang membuatnya bingung itu. Dan sekarang dia sudah pergi untuk selamanya. Saat dimana Aish belum sempat menemukan jawaban atas perasaan anehnya.
***
Dua minggu kemudian...
            Hasil Tryout terakhir baru dibagikan. Semua teman-teman sekelasnya sudah pulang. Aish terlihat enggan beranjak dari duduknya di pos satpam sekolah. Perkataan Shinta sebelum pulang tadi terngiang-ngiang ditelinganya.
            “ Kamu pasti rindu dia. Iya kan, Ish?“. Yang ditanya hanya pura-pura tak mengerti. Dia tahu yang Shinta maksud adalah Nanda. “ Kita semua rindu dia. Dia baik banget, aku akuin rohis gak bakalan berjalan kalau gak ada dia”, lanjut Shinta tampak tak menunggu jawaban Aish.“…dia hebat, meski dari keluarga gak mampu, dia masih bisa ngelanjutin sekolah. Dan dia… Dia kagum sama kamu, Aish…”, kata Shinta sambil menepuk pundak Aish lembut. Aish langsung menoleh kaget. Shinta hanya menatapnya dengan tersenyum, kemudian pergi kearah ayahnya yang menjemputnya.
            Awan hitam mulai berarak dari timur disertai dengan angin dingin yang menusuk. Sekolah sudah benar-benar sepi, tapi Aish masih tak beranjak dari duduknya. Ditangannya ada payung biru, yang harusnya Aish kembalikan pada pemiliknya. Untuk kesekian kali ia dihadapi dengan kenyataan bahwa pemilik itu tidak akan menanyakan maupun menagih payungnya.
 $3B           Hujan rintik mulai membasahi sebagian teras pos satpam. Makin lama hujan itu makin deras, membawa Aish pada kenangannya bersama Nanda dua minggu yang lalu, ditempat ini, disuasana yang sama. Aish menghirup aroma hujan yang membuat hatinya hangat dengan kenangan itu. Wajahnya menengadah, menatap rintik hujan yang jatuh. Saat itu dia sadar, hujan waktu itu adalah hujan pertama dan terakhir yang dia alami bersama Nanda.
            Perasaan aneh dan bingung itu, sepertinya kini bukan teka-teki. Aish tahu apa itu. Perasaan manis yang membuatnya melakukan hal-hal konyol, yang tanpa sadar membuat Aish merasa lebih dewasa. Hanya saja, dia terlambat menyadarinya … Ah, tidak, ini tidak terlambat, tapi ini yang terbaik. Aish tahu ada yang Maha Kuasa yang telah mengatur segalanya. Aish tahu pasti hal ini akan indah pada waktunya.
            Setetes air mata Aish jatuh beriringan dengan hujan yang menemaninya.
            “ Abi, sepertinya Aish jatuh cinta…”

0 komentar:

Posting Komentar

 

Leben Notizen Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template