Rabu, 05 September 2012

Resensi: 99 Cahaya di Langit Eropa


“Mengutip kata-kata George Santayana: ‘Those who don’t learn from history are doomed to repeat it.’ Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini yang tidak mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu.” (hlm. 4)
99 Cahaya di Langit Eropa adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata mengenai perjalanan spiritual Hanum Salsabiela Rais dan suaminya, Rangga Almahendra, dalam mengulik sejarah Islam selama 3 tahun mereka menetap di bumi Eropa. Dalam buku ini, perjalanan mereka terbagi menjadi empat rute utama: Wina (Austria), Paris (Prancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), serta Istanbul (Turki).
Petualangan mereka dimulai dari Rangga yang mendapat beasiswa untuk studi S3 di WU Vienna dan memboyong serta istrinya, Hanum, yang menyusul 4 bulan kemudian. Selanjutnya, Hanum bekerja untuk proyek video podcast Executive Academy di kampus suaminya. Di tengah-tengah kesibukannya mengerjakan projek tersebut, Hanum pun mengikuti kursus bahasa Jerman. Dan di tempat itulah ia menjalin persahabatan dengan Fatma Pasha, seorang Muslimah asal Turki.
Melalui penuturan Fatma, kita pun paham bahwa menjadi seorang Muslim di negara yang umat Islamnya menjadi minoritas bukanlah hal mudah. Fatma berkali-kali ditolak bekerja di berbagai perusahaan karena ia berhijab. Belum lagi kesulitan menemukan ruang ibadah di tempat umum. Meskipun demikian, Fatma telah bertekad untuk menjadi agen Muslim yang baik di tempatnya berada. Seperti ketika sekelompok turis asing mengolok-olok Turki dengan croissant, yang merupakan roti untuk merayakan kalahnya Turki di Wina, ia justru membayari makan turis tersebut dan mengajaknya berteman supaya ia dapat belajar bahasa Inggris darinya.
Bersama tiga kawannya: Latife, Ezra, dan Oznur, Fatma menetapkan tiga poin penting dalam syiar Islamnya di Austria: tebarkan senyum indahmu, kuasai bahasa Jerman dan Prancis, serta jujur dalam berdagang. Terbukti, salah satu kawannya jatuh cinta pada Islam karena mengenal keramahan dan senyum Latife, hingga kemudian ia menjadi mualaf. Subhanallah.
“Fatma membukakan mata bahwa lima pilar inti ajaran agama Islam juga harus tersuguh dengan akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dimaknai sebagai tata cara beribadah. Fatma menghadapi tantangan lebih berat—di tengah penduduk nonmuslim—yaitu di Eropa yang umatnya semakin bangga melepas semua atribut agama, mengabaikan keniscayaan terhadap Tuhan alias ateis. Sama sekali bukan perkara mudah. Akan tetapi, dia percaya keteladanan berbicara lebih keras dari kata-kata.” (hlm. 63)
Buku ini pun tak lepas dari kunjungan penulis ke tempat-tempat bernafaskan sejarah Islam di Eropa. Seperti Museum Wina dan kisah tentang Kara Mustafa Pasha, panglima perang khalifah Ottoman. Kemudian Museum Louvre di Paris, yang menyimpan berbagai bukti sejarah jayanya Islam di abad pertengahan. Siapa yang menyangka bahwa penemu lensa kamera serta peta antariksa pertama adalah ilmuwan Muslim? Atau pinggiran hijab Bunda Maria yang ternyata bertuliskan kalimat tauhid ‘Laa Ilaaha Illalah’? Belum lagi, fakta bahwa di masa Masjid Agung Paris pernah menyelamatkan puluhan warga Yahudi dari kejaran tentara Nazi Jerman.
“Aku merasa imam masjid ini, siapa pun dia, juga mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang-orang yang sama sekali tak ada hubungan dengan dirinya. Namun, ia yakin akan perintah Allah dalam Alquran tentang kewajiban menyelamatkan jiwa umat manusia yang lain, apa pun agama mereka, apa pun kepercayaan mereka. Karena dengan demikian dia sama saja menyelamatkan seluruh manusia di bumi.” (hlm. 193)
Begitupun halnya dengan Hagia Sophia di Istanbul, bangunan yang dulunya adalah sebuah Katedral Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi masjid. Masjid itu memajang kaligrafi Allah, Muhammad, serta ayat-ayat suci Alquran, tetapi tetap membiarkan lukisan-lukisan Yesus dan Bunda Maria serta elemen kekristenan lainnya berada di sana. Berkebalikan dengan bangunan Mezquita Cordoba di Spanyol, yang dulunya adalah masjid, tetapi kini menjadi katedral. Dan masih banyak cerita lainnya yang menggugah kita untuk memelajari Islam labih dalam lagi.
Sungguh, saya merasa belajar banyak hal seusai membaca buku ini. Tidak hanya tentang sejarah kejayaan Islam di Eropa pada masa lalu. Namun juga tentang bagaimana menjadi Muslim yang baik, tentang bagaimana agama dan ilmu adalah saling menguatkan, tentang hakikat sebuah perjalanan, tentang mensyukuri sebuah keyakinan, tentang bagaimana pada akhirnya, kita pergi dan kembali hanyalah untuk-Nya.
Buku ini pun dilengkapi peta penjelajahan penulis ke tempat-tempat bernafaskan sejarah Islam di Eropa serta halaman lux berwarna di bagian belakang, lengkap dengan foto tempat-tempat yang disinggahi penulis selama berpetualang di Eropa.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang begitu lancar mengalir dan mudah dipahami. Meskipun ditulis dengan gaya novel, tetap tak mengurangi esensinya sebagai buku yang sarat akan ilmu dan pengetahuan agama. Saya amat menyukai buku ini dan sejauh ini sudah tiga kali dibaca ulang. Sayangnya, setelah dibaca beberapa kali, bercak-bercak hitam bermunculan pada pinggiran kertas buku ini. Padahal buku ini belum pernah mengalami ‘kecelakaan’ apa pun selama saya baca (jatuh, terkena air, noda makanan, dsb.)
Akhir kata, 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan bacaan yang layak bagi mereka yang ingin memelajari sejarah Islam dengan mudah. Tidak salah bila buku ini menjadi salah satu bestseller Penerbit Gramedia dan sudah dicetak ulang sebanyak delapan kali dalam kurang dari satu tahun.
Tentang Penulis

Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir menjadi jurnalis dan presenter di TRANS TV.
Hanum memulai petualangannya di Eropa selama tinggal di Austria bersama suaminya Rangga Almahendra dan beke rja untuk proyek video podcast Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.
Tahun 2010, Hanum menerbitkan buku pertamanya, Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta. Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan, keluarga dan mutiara hidup.
Rangga Almahendra, suami Hanum Salsabiela Rais, teman perjalanan sekaligus penulis kedua buku ini. Menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Yogyakarta, berkuliah di Institut Teknologi Bandung, kemudian S2 di Universitas Gadjah Mada, keduanya lulus cumlaude.
Memenangi beasiswa dari Pemerintah Austria untuk studi S3 di WU Vienna, Rangga berkesempatan berpetualang bersama sang istri menjelajah Eropa. Pada 2010 ia menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor di bidang International Business & Management.
Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Johannes Kepler University dan Universitas Gadjah Mada. Rangga sebelumnya pernah bekerja di PT Astra Honda Motor dan ABN AMRO Jakarta.
Untuk mengontak penulis, silakan mengirim email ke hanumrais@gmail.com atau ralmahen@yahoo.com. Kunjungi juga situs resmi buku ini di www.hanumrais.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Leben Notizen Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template