“Mengutip kata-kata George Santayana: ‘Those who don’t
learn from history are doomed to repeat it.’ Barang siapa melupakan
sejarah, dia pasti akan mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini
yang tidak mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu.” (hlm. 4)
99 Cahaya di Langit Eropa adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan
kisah nyata mengenai perjalanan spiritual Hanum Salsabiela Rais dan
suaminya, Rangga Almahendra, dalam mengulik sejarah Islam selama 3 tahun
mereka menetap di bumi Eropa. Dalam buku ini, perjalanan mereka terbagi
menjadi empat rute utama: Wina (Austria), Paris (Prancis), Cordoba dan
Granada (Spanyol), serta Istanbul (Turki).
Petualangan mereka dimulai dari Rangga yang mendapat beasiswa untuk
studi S3 di WU Vienna dan memboyong serta istrinya, Hanum, yang menyusul
4 bulan kemudian. Selanjutnya, Hanum bekerja untuk proyek
video podcast
Executive Academy di kampus suaminya. Di tengah-tengah kesibukannya
mengerjakan projek tersebut, Hanum pun mengikuti kursus bahasa Jerman.
Dan di tempat itulah ia menjalin persahabatan dengan Fatma Pasha,
seorang Muslimah asal Turki.
Melalui penuturan Fatma, kita pun paham bahwa menjadi seorang Muslim di
negara yang umat Islamnya menjadi minoritas bukanlah hal mudah. Fatma
berkali-kali ditolak bekerja di berbagai perusahaan karena ia berhijab.
Belum lagi kesulitan menemukan ruang ibadah di tempat umum. Meskipun
demikian, Fatma telah bertekad untuk menjadi agen Muslim yang baik di
tempatnya berada. Seperti ketika sekelompok turis asing mengolok-olok
Turki dengan
croissant, yang merupakan roti untuk merayakan
kalahnya Turki di Wina, ia justru membayari makan turis tersebut dan
mengajaknya berteman supaya ia dapat belajar bahasa Inggris darinya.
Bersama tiga kawannya: Latife, Ezra, dan Oznur, Fatma menetapkan tiga
poin penting dalam syiar Islamnya di Austria: tebarkan senyum indahmu,
kuasai bahasa Jerman dan Prancis, serta jujur dalam berdagang. Terbukti,
salah satu kawannya jatuh cinta pada Islam karena mengenal keramahan
dan senyum Latife, hingga kemudian ia menjadi mualaf. Subhanallah.
“Fatma membukakan mata bahwa lima pilar inti ajaran
agama Islam juga harus tersuguh dengan akhlaqul karimah dalam kehidupan
sehari-hari, bukan hanya dimaknai sebagai tata cara beribadah. Fatma
menghadapi tantangan lebih berat—di tengah penduduk nonmuslim—yaitu di
Eropa yang umatnya semakin bangga melepas semua atribut agama,
mengabaikan keniscayaan terhadap Tuhan alias ateis. Sama sekali bukan
perkara mudah. Akan tetapi, dia percaya keteladanan berbicara lebih
keras dari kata-kata.” (hlm. 63)
Buku ini pun tak lepas dari kunjungan penulis ke tempat-tempat
bernafaskan sejarah Islam di Eropa. Seperti Museum Wina dan kisah
tentang Kara Mustafa Pasha, panglima perang khalifah Ottoman. Kemudian
Museum Louvre di Paris, yang menyimpan berbagai bukti sejarah jayanya
Islam di abad pertengahan. Siapa yang menyangka bahwa penemu lensa
kamera serta peta antariksa pertama adalah ilmuwan Muslim? Atau
pinggiran hijab Bunda Maria yang ternyata bertuliskan kalimat tauhid
‘Laa Ilaaha Illalah’? Belum lagi, fakta bahwa di masa Masjid Agung Paris pernah menyelamatkan puluhan warga Yahudi dari kejaran tentara Nazi Jerman.
“Aku merasa imam masjid ini, siapa pun dia, juga
mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang-orang yang sama sekali
tak ada hubungan dengan dirinya. Namun, ia yakin akan perintah Allah
dalam Alquran tentang kewajiban menyelamatkan jiwa umat manusia yang
lain, apa pun agama mereka, apa pun kepercayaan mereka. Karena dengan
demikian dia sama saja menyelamatkan seluruh manusia di bumi.” (hlm. 193)
Begitupun halnya dengan Hagia Sophia di Istanbul, bangunan yang dulunya
adalah sebuah Katedral Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi
masjid. Masjid itu memajang kaligrafi Allah, Muhammad, serta ayat-ayat
suci Alquran, tetapi tetap membiarkan lukisan-lukisan Yesus dan Bunda
Maria serta elemen kekristenan lainnya berada di sana. Berkebalikan
dengan bangunan Mezquita Cordoba di Spanyol, yang dulunya adalah masjid,
tetapi kini menjadi katedral. Dan masih banyak cerita lainnya yang
menggugah kita untuk memelajari Islam labih dalam lagi.
Sungguh, saya merasa belajar banyak hal seusai membaca buku ini. Tidak
hanya tentang sejarah kejayaan Islam di Eropa pada masa lalu. Namun juga
tentang bagaimana menjadi Muslim yang baik, tentang bagaimana agama dan
ilmu adalah saling menguatkan, tentang hakikat sebuah perjalanan,
tentang mensyukuri sebuah keyakinan, tentang bagaimana pada akhirnya,
kita pergi dan kembali hanyalah untuk-Nya.
Buku ini pun dilengkapi peta penjelajahan penulis ke tempat-tempat
bernafaskan sejarah Islam di Eropa serta halaman lux berwarna di bagian
belakang, lengkap dengan foto tempat-tempat yang disinggahi penulis
selama berpetualang di Eropa.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang begitu lancar mengalir dan mudah
dipahami. Meskipun ditulis dengan gaya novel, tetap tak mengurangi
esensinya sebagai buku yang sarat akan ilmu dan pengetahuan agama. Saya
amat menyukai buku ini dan sejauh ini sudah tiga kali dibaca ulang.
Sayangnya, setelah dibaca beberapa kali, bercak-bercak hitam bermunculan
pada pinggiran kertas buku ini. Padahal buku ini belum pernah mengalami
‘kecelakaan’ apa pun selama saya baca (jatuh, terkena air, noda
makanan, dsb.)
Akhir kata, 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan bacaan yang layak bagi
mereka yang ingin memelajari sejarah Islam dengan mudah. Tidak salah
bila buku ini menjadi salah satu bestseller Penerbit Gramedia dan sudah
dicetak ulang sebanyak delapan kali dalam kurang dari satu tahun.
Tentang Penulis
Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh
pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter
Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir menjadi jurnalis dan presenter di
TRANS TV.
Hanum memulai petualangannya di Eropa selama tinggal di Austria bersama suaminya Rangga Almahendra dan beke rja untuk proyek
video podcast
Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai
koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.
Tahun 2010, Hanum menerbitkan buku pertamanya,
Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta. Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan, keluarga dan mutiara hidup.
Rangga Almahendra, suami Hanum Salsabiela Rais, teman perjalanan
sekaligus penulis kedua buku ini. Menamatkan pendidikan dasar hingga
menengah di Yogyakarta, berkuliah di Institut Teknologi Bandung,
kemudian S2 di Universitas Gadjah Mada, keduanya lulus
cumlaude.
Memenangi beasiswa dari Pemerintah Austria untuk studi S3 di WU Vienna,
Rangga berkesempatan berpetualang bersama sang istri menjelajah Eropa.
Pada 2010 ia menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor di bidang
International Business & Management.
Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Johannes Kepler University dan
Universitas Gadjah Mada. Rangga sebelumnya pernah bekerja di PT Astra
Honda Motor dan ABN AMRO Jakarta.
Untuk mengontak penulis, silakan mengirim email ke hanumrais@gmail.com
atau ralmahen@yahoo.com. Kunjungi juga situs resmi buku ini di
www.hanumrais.com