Ceritanya sih cerita cinta, meski gak tahu kok bisa-bisanya ini cerpen jadi beneran (loh?). Sebenernya sih aku mau netepin genre tulisan ke 'family'. Eh, tapi gak apa deh ini, moga gak jelek-jelek banget yaaa...
Berlayar
ke Andromeda
Aku
selalu membayangkan diriku adalah seorang nahkoda. Kapalku adalah kapal yang
tak besar, namun kuat dan megah. Setiap hari yang kulakukan hanya berlayar dan
berlayar. Terkadang menepi hanya untuk mendapatkan tambahan makanan. Namun aku
lebih suka melaut. Melepaskan sauh dan menjauh dari daratan. Karena ketika yang
ada hanya air dan langit, semuanya akan tampak sangat menawan bagiku. Ya,
serasa hanya ada aku dan kamu, bintang yang bersinar sangat terang diatas sana,
yang selalu ada mengobati siksa perjalanku yang tak tahu kapan akan berakhir.
Kamu
terlalu bersinar. Kamu Andromeda yang menembus gelisah makhluk-makhluk malam
yang resah. Juga selalu memberi kesan mendalam disetiap hati yang pura-pura tak
peduli. Porsi sinarmu melebihi bintag-bintang lainnya, seakan tak pernah redup,
bertambah setiap harinya. Ketika terang-terangan aku memujimu, kamu bilang, aku biasa saja. Dengan penuh
kutatap bola matamu yang bening, tak ada kebohongan disana. Betapa murninya
ketulusan yang kamu berikan pada semua orang disekitarmu.
Pertama
bertemu denganmu hari serasa dipenuhi bunga-bunga. Bahkan aku dapat mencium
wanginya, merasuk hingga kehati. Ya, mungkin benar wangi pesonamu itu meracuni
hatiku. Rasanya tidak dapat dihindari lagi. Mungkin ini yang namanya mengagumi,
ataukah jatuh hati?
Bisa
dibilang aku adalah tipe pria yang susah jatuh cinta. Banyak wanita yang
menyerah ditengah jalan saat mendekatiku. Dan yang bisa aku lakukan hanyalah
tetap berdiri tegak di atas kapal keangkuhanku. Satu persatu dari mereka
memilih untuk singgah ke kapal lain. Ada yang tetap tinggal, rela menjadi budak
di kapalku yang kuat dan megah ini. Mereka datang dan pergi dengan kusuruh.
Jangan salahkan aku, mereka yang memilih.
Lupakan
sejenak wanita-wanita tak spesial itu.
Sekarang akan aku bercerita tentang Andromedaku. Menurutku, dia seperti
malaikat yang dibungkus tubuh manusia. Indah. Tutur katanya santun dan dia juga
pintar.
“
Mau kemana?”, tanyaku sore itu dari balik meja kerjaku. Tak bisa kuelakkan bahwa
dia amat cantik dengan kerudung merah, warna kesukaanku.
“
Penerbit. Sekarang sedang proses editing buku ke-tiga”, ujarnya singkat dengan
senyum simpul. Senyum yang selalu membentuk lesung di kedua lekukan pipinya
yang tirus.
“
Perlu aku antar?”, tawarku dengan harap yang sangat.
“
Oh, nggak perlu. Dina sudah didepan, sepertinya dia sudah menunggu sejak lama.
Assalamualaikum…”, akhirnya dia pergi. Aku menjawab salam, kemudian berusaha
untuk kembali menekuni layar laptop. Banyak surat-surat kolega yang harus aku
balas, dan form-form yang harus segera ditandatangani. Tapi semuanya serasa
enyah digantikan dengan perasaan khawatir. Perasaan yang, entahlah, selalu
hadir beberapa akhir ini. Khawatir dia akan mengalami hal buruk diluar sana,
khawatir akan ada laki-laki yang mengganggunya, atau terjadi sesuatu dengan
mobil yang ditumpanginya.
Tiga
tahun yang lalu, saat masih duduk dibangku kuliah semester tujuh, ayah
meninggal karena serangan jantung mendadak. Aku tak berani pulang kerumah
setelah pemakaman selesai. Berkendara sendiri tak tentu arah. Otak penuh dengan
paparan kenyataan yang kini berada didepan mata. Semuanya serba mendadak.
Kematian ayah. Perusahaan yang sedang dalam masa menanjak. Ibu, wanita yang
paling aku sayangi didunia ini, adalah ibu rumah tangga yang hanya lulusan
SLTA. Sebagai anak tunggal sudah pasti kau tahu apa yang akan aku emban.
Saat
itu Ely, teman sekampus juga satu forum diskusi, mengenalkanku padanya. Kami
dikenalkan karena dia membutuhkan konsultasi beberapa materi kuliah dari asisten
dosen sepertiku.Dari semua perempuan yang pernah kukenal, dia berbeda. Tak
berani menyentuhku untuk bersalaman, memakai kerudung yang benar-benar menutup
auratnya. Keluargaku adalah muslim yang taat. Ibu mengajariku bagaimana bergaul
dengan lawan jenis dengan baik. Aku memahami itu, dan amat kagum melihat
seorang wanita yang kukuh pendirian terhadap agamanya disamping pergaulan
mahasiswa yang sudah mulai melampaui batas.
Kami
jarang bertemu, namun pertemuan pertama itu cukup membuatku terus memikirkannya,
dan membuat berbagai alasan untuk bisa mengobrol sebentar dengannya. Entah apa
yang waktu itu hinggap dalam otakku. Mengobrol bersamanya selalu membuat segala
masalah kabur seketika. Dia smart dan
juga religius, sehingga bahan diskusi kami tak pernah surut. Aku pernah merasa
bahwa dia sedikit menaruh perhatian padaku. Tapi entahlah, waktu itu aku takut
menerka-nerka hal yang tak mungkin benar adanya.
Yang
aku tahu, dia satu-satunya mahasiswa baru yang berani mengambil jalan untuk
bekerja dan kuliah secara bersamaan. Tentu saja sulit, ditambah lagi keaktifannya
dalam kegiatan kemahasiswaan maupun organisasi. Dia, perempuan berkerudung yang
sangat mencintai musik klasik. Apapun yang ada padanya bagiku adalah indah. Kuputuskan
untuk menyebutnya Andromeda karena dia
memang bersinar.
Saat
itulah tepatnya kurasakan air laut mulai tenang kembali. Dari dek kapal,
kutatap diatas sana ada satu bintang baru
yang amat bersinar tersenyum kearahku. Dan kuputuskan untuk menjadikannya
penunjuk arah saat angin laut sudah mulai tak bersahabat, atau ketika kapalku
limbung ketika menabrak karang. Meski terkadang awan hitam menutupinya, namun
besok malamnya aku akan tetap mencari, dan menemukannya kembali bertengger
diatas langitku dengan membawa sejuta harapan.
***
Sekarang
tepat tiga tahun pertemuan kami, aku mengajaknya makan malam. Diantara berbagai
macam kesibukan masing-masing, jarang sekali kami menemukan waktu untuk hal-hal kecil seperti ini. Makan malam hanya
berdua, jangan kira aku tak gugup. Sekali bertemu rekan kerjaku dan kebanyakan
orang-orang akan berpendapat aku adalah orang yang tegas dan tak mudah diajak
bercanda. Tapi, semua akan terlihat berbeda ketika dilakukan bersamanya. Aku
akan lebih mudah bertanya dan mengeluarkan guyonan. Begitulah, Andromedaku
selalu bisa membuatku menjadi diri sendiri.
“
Bagaimana skripsimu? Lancar?”, tanyaku membuka pembicaraan. Dia terlihat kikuk
dibalik kerudung putihnya. Namun selalu saja, cantik.
Matanya
mengerling ke jendela restoran yang besar. Sejenak mengamati lalu-lalang
kendaraan yang tidak teratur. Senyum dibibirnya yang merekah indah tambah
menawan dipantulkan cahaya lampu keemasan dari atas kami. Orang bisa tebak, dia
sedang bahagia. Tapi menurutku, dia adalah satu dari segelintir orang yang
pintar menyembunyikan perasaan aslinya. Sudah lumayan lama aku mengenalnya, dan
itu cukup membuat aku tahu bagaimana watak perempuan ini.
“
Yah, begitulah… Semuanya lancar, pengumuman beasiswa sudah keluar. Dan aku
masuk dalam lima nama yang beruntung…”. Aku tersenyum puas mendengar
jawabannya. Aku akui, dia memang cemerlang. Belum selesai ujian skripsi, dia
sudah mendapat beasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Yogya.
“
Seperti yang aku bilang, kan. Kamu pasti lolos…”, ujarku. Kuharap ini bukan
reaksi yang berlebihan. Andromedaku itu hanya tertawa pelan, membenahkan
sedikit ujung kerudungnya dengan jemarinya yang lentik.
Setelah
menghela nafas pelan, diapun berujar, “ Tidak-tidak… Sebenarnya ada berita yang
kurang menyenangkan…”
“
Apa?”, tanyaku. Tak sadar posisi dudukku berubah lebih tegak dari sebelumnya.
“
Tiba-tiba dari bidang marketing mengirimkan pemberitahuan, buku ketigaku ini
tidak bisa langsung dicetak. Masih harus menunggu proses apa itu, entahlah…”,
katanya sambil memainkan bunga mawar dihadapannya. Kekecewaan itu bisa dia kendalikan dengan memperlihatkan
senyum yang menertawakan diri sendiri.
“
Ah, tidak apa”, tanggapku setelah beberapa detik memikirkan apa yang harus
dikatakan. “ Kalau menurutku mungkin hanya terhambat sebentar. Tidak sampai
sebulan pasti bisa dilanjutkan...”, lanjutku dengan senyum meyakinkan. Dia
balas terkekeh pelan.
“
Iya, dan Allah sudah gantikan dengan beasiswa itu…”, ujarnya. Kami saling
tersenyum satu sama lain dan kurasakan ada perasaan hangat disamping suasana restoran
yang disejukkan oleh pendingin ruangan ini. Entahlah, apakah dia juga
merasakannya atau tidak.
Percakapan
kami terhenti karena pelayan yang datang membawa pesanan. Beberapa saat
kemudian hanya sunyi yang menguasai atmosfer diantara aku dan Andromedaku.
Entahlah apa yang sedang dipikirkannya. Yang kulihat dia menyantap makan malam
itu tanpa banyak menatap kearahku. Mungkin dia tahu aku sedang
memperhatikannya, tapi pura-pura tak tahu. Seperti diam-diam mengijinkanku untuk
menikmati saat-saat memperhatikannya seperti ini.
***
Sepulang
dari makan malam, kulangkahan kaki menuju ruang kerja. Kurasakan pening di
kepala, namun berusaha ku tepis karena sekarang saatnya mengecek dan membalas
email yang masuk. Sekonyong-konyong kubaca sebuah alamat email disana, masih
dua jam yang lalu. Yang kulakukan hanya diam tak berkedip memandang kosong ke monitor.
Lebih tepatnya mempersiapkan diri untuk apa saja yang akan kutemui dalam surat
elektronik yang dikirim nun jauh dari Eropa sana. Dengan perasaan campur aduk
akhirnya kuklik tombol read.
Dear
Andra,
Ibu
dan Om Tamam benar-benar merindukanmu dan Raisa. Bagaimana kabar kalian di
Jakarta? Baik-baik saja, kan? Jangan khawatirkan kami, disini semuanya berjalan
lancar. Hari minggu kemarin kami diundang makan malam oleh Kedubes di Bern.
Pekerjaan om disini mendapat perhatian
beberapa perusahaan lokal. Sepertinya ini berarti kami akan memperpanjang waktu
tinggal disini. Bisa sepuluh bulan hingga
setahun lagi. Geht das? Tidak apa-apa
kan?
Ibu
pikir ini tidak akan jadi masalah, untuk kamu dan Raisa lebih lama tinggal
bersama. Jaga dia baik-baik ya… Ibu dengar dia sudah mau menerbitkan tiga buku
dan keterima S2 di Yogya. Dia pintar ya, sama seperimu, pasti kalian sangat
cocok dalam diskusi J
Meskipun
kalian tak sedarah ibu yakin setelah setengah tahun tinggal bersama kalian
sudah semakin akrab. Om Tamam bertanya-tanya lagi kemarin, kapan kamu bisa
mulai memanggilnya bapak. Yah, ibu rasa dua tahun sudah cukup untuk kamu
menerima kehadirannya dan Raisa. Sekarang kita adalah keluarga, Ndra. Sekarang
kamu sudah dewasa, sudah tau apa yang terbaik. Ibu yakin ayahmu diatas sana
akan bangga padamu, nak. Kamu telah banyak membuat banyak perkembangan dalam
perusahaan, telah bekerja keras demi kita. Buka hatimu untuk keluarga baru ini,
ya…
Ngomong-ngomong
tentang usia, ibu ingin sekali melihatmu berdiri dipelaminan dengan wanita yang
kau cintai. Kau tahu sendiri, kekhawatiran seorang ibu yang wajar, ingin
melihat anaknya segera menikah. Ibu selalu doakan jodoh terbaik untukmu. Tetap
jaga kesehatan ya, titip salam buat Raisa, ibu kangen dia.
Salam
hangat,
Ibu
Malam
ini kutemukan kapal yang kunaiki kini terdampar di samudera mati. Sendiri. Air
laut tak berombak, tak ada angin, dan suasana di kapal benar-benar sepi.
Wanita-wanita itu sepertinya sudah bosan melayaniku yang tak banyak bicara, dan
tak ada waktu bahkan untuk menjamu mereka. Yang aku lakukan hanya berdiri
didepan dek, sesekali menjalankankan kemudi, namun kebanyakan diam, duduk dan
menghabiskan waktu menatap kelangit. Berdialog dengan Andromeda.
Sekarang
aku takut untuk mendongakkan kepala. Takut tak menemukan Andromedaku, atau
mungkin dia akan tetap ada, namun jarak pandangku padanya akan serasa semakin
jauh. Takut karena meskipun megah, kapalku tak akan pernah berlabuh tepat
dialtar langit untuk menjemputnya. Mungkin sudah takdirku untuk menjadi nahkoda
pengembara selamanya. Dan dia sebagai bintang yang hadir dalam perjalananku
tapi tak bisa untukku miliki.
Kucoba
untuk pejamkan mata, menangisi takdir kami yang selama tiga tahun hanya bisa
saling pandang dan melengkapi dalam kedekatan yang jauh. Mungkin ini salahku
yang tak pernah mencoba untuk berani, untuk bercerita pada mereka tentang kami.
Ya, maafkan aku Andromeda.
Tak
kuasa buliran hangat membasahi pipiku. Entah untuk yang keberapa kalinya,
mungkin sejak dua tahun lalu, sejak pertama kalinya ibu mengenalkan om Tamam,
pria baik yang ingin menikahinya itu. Pria yang amat serasi dengan ibuku yang
memang sedang butuh pelengkap dimasa tuanya. Apapun, bu, apapun agar kau
bahagia aku juga akan lebih bahagia. Namun lain cerita ketika pria baik itu
datang dengan membawa Andromedaku.
Perkataan
Raisa sebelum masuk kedalam kamarnya malam ini terngiang-ngiang kembali
diotakku, “ Kamu tahu, kak… Sepertinya aku akan tetap mencintaimu…”
Biodata
Pengarang bernama Nona
Elana Kristiana, lahir di Situbondo 29 November 1993. Mahasiswi sastra Jerman
2011 ini menyukai menulis semenjak duduk di bangku SMP. Hal ini diwujudkan dengan
keaktifannya di majalah sekolah saat SMA. Hobinya membaca dan memasak. Untuk
menyalurkan hobinya, dia lumayan sering mengikuti dan juga memenangkan lomba
membaca puisi se-kabupaten. Keinginannya selanjutnya adalah menjadi penulis
cerpen maupun puisi yang professional.
0 komentar:
Posting Komentar