Jumat, 17 September 2010

Sweet home



Saat itu tepat menjelang maghrib. Hujan baru saja berhenti melimpahkan udara basah dan sejuk yang mendamaikan paru-paru. Terhuyung aku saat melangkah ke arahnya dengan pakaian seragam lusuh terkena hujan. Aku juga tak menyadari betapa hatiku ikut basah, seperti ada air yang menyejukkan mengaliri seluruh tubuhku saat kutatap matanya.
“Hai,Bunga...”,dia menyapaku dengan tersenyum bercampur air mata yang tak bisa di sembunyikan. Tangannya mengembang kearahku, ingin memelukku. Seperti yang aku bayangkan selama ini dalam mimpiku. Aku tak bisa menahan tangis dan ikut menyapanya.
“Hai., Ma...”. Kami berpelukan, dan betapa aku telah memaafkan segala apa yang telah dilakukannya selama ini.
Dan saat itu kusadari pelangi sedang melingkar indah tepat diatas kami berdua.
***
Beberapa jam yang lalu...
“Jangan lupa pergi ke makam ya nanti sore, nenek tunggu kamu dirumah”, kata nenek di meja makan pagi itu. Sudah pukul setengah tujuh, biasanya Chacha akan menjemputku jam segini. Kulirik nenek yang duduk disampingku, tubuhnya semakin renta, tangannya bergetar ketika mengantar makanan ke mulutnya yang juga keriput.
Perkataan nenek tak kusahut. Akhir-akhir ini itu kebiasaanku. Aku malas mengeluarkan sepatah kata pada seseorang dirumah. Karena mungkin memang tak ada seorangpun yang bisa ku ajak bicara dari hati ke hati dirumah ini. Sepagi ini Abang masih belum bangun dari ranjang kusutnya. Aku mendengarnya pulang tadi malam dengan suara gaduh, mungkin mabuk-mabukan lagi.
“Aku berangkat”, kataku sambil beranjak.
“Bunga...”, langkahku berhenti mendengar suara nenek yang menegurku. Dengan setengah hati aku berbalik, mengulurkan tangan kearahnya, mencium tangan orang tua itu. “ Jangan lupa ya nduk...”
Segera aku berlari keluar rumah karena tak ingin mobil Chacha menunggu lebih lama lagi.
***
“ Masih seperti kemaren?”, tanya Chacha sesampainya di sekolah. Aku tak segera menjawabnya, kuedarkan senyum ke seluruh antero sekolah.
“Nga... Kamu dengerin aku gak sih?”, tanya Chacha akhirnya dengan suara agak dongkol.
“Eh... Iya? Emang kamu tanya apaan?”
Chacha menghembuskan nafas kesal. “ Kamu gak boleh terus kayak gini. Kamu harus perbaikin masalah kamu dirumah!”. Aku kontan tersenyum masam, melihat kearah lain.” Kamu gak ngerti apa-apa Cha... Kamu gak tahu perasaan aku”
“Emangnya aku harus menjadi seperti kamu untuk mengerti apa yang kamu rasain?...”, ku potong perkataannya dengan melambaikan tangan ke arah mukanya.
“ Coba deh berhenti bahas itu lagi. Sekarang kita di sekolah, masalah rumah jangan di bawa-bawa. Sssst, Dani lagi kearah sini tuh..”
“Halo ladies... Tambah cantik aja nih tambah hari!”, kata Dani seraya menghampiri kami. Aku hanya tersenyum manja ke arah pacarku itu.
“ Ih, Cha, mukamu kok jutek gitu sih?”, tanya Dani.
“Tanya aja tuh ma pacarmu!”, tukas Chacha sambil masuk kearah kelas. Dani menatap penuh tanya kearahku.
“ Gak ada apa-apa... Biasa, cewek kalo dateng bulan...”, kataku tersenyum bercanda. Dani ikut tersenyum kearahku. Dia benar-benar sosok yang sempurna dan mengerti. Dan menyadari keberadaannya disisiku saja bisa menguatkan tekadku untuk tetap tersenyum.
“Sayang, aku pengen ngajak kamu keluar nanti pulang sekolah. Mau ya?”, tanyanya dengan mata shincan yang memohon. Aku terdiam sejenak, bayangan nenek berselebat dalam benakku.
“Memangnya harus nanti siang?”, tanyaku hati-hati.
“Iya dong, kan aku udah janjian sama temen-temen band mau lunch bareng... Plis......”, mohonnya lagi. Aku sadari memang selalu tak berdaya jika dihadapkan dengan muka innoccentnya itu. Yang bisa kulakukan hanya menggangguk lemah, dengan pikiran ada di tempat lain. Tempat yang dari dulu kuharapkan bisa membuat hidupku sempurna bila ada di dalamnya. Tempat yang kuharap bisa membuatku bersyukur pernah dilahirkan ke dunia ini. Rumah...
***
Kenyataannya aku tak memiliki rumah yang sempurna. Keluargaku berantakan. Ayah meninggal satu tahun lalu. Sejak saat itu pula aku tak pernah bertemu sosok ibu. Sosok ibu yang harusnya mendampingiku dimasa-masa sulitku ini. Ibu yang aku mimpikan bisa menjadi tempat keluh kesahku tentang sekolah, telah pergi dengan lelaki pilihannya. Pernah terlintas dalam benakku, mungkin aku dan abang memang bukan anak yang diharapkannya. Karena kami memang terlahir dari seorang ayah yang berekonomi pas-passan.
Saat ini hanya ada seorang nenek yang mengasuhku di sisa-sisa umur tuanya. Nenek, yang ku harap bisa mengganti sosok ibu selama satu tahun ini Tapi kenyataannya tak bisa. Hatiku lelah mengharap kedatangan ibu. Ibu yang biasanya ku panggil dengan sebutan mama. Saat ini kusadari, setelah lama berharap, Mama hanya bisa aku temui di dunia mimpi.
Sekolah menjadi rumah keduaku. Disini aku bisa menjadi diri sendiri. Dan yang kusadari, disekolah aku bisa lebih banyak tersenyum daripada di rumah. Ada teman-teman, guru, sahabat, pacar, yang  bisa melengkapi kehidupan remajaku. Tak pernah ku bersitkan perasaan sedih di sekolah. Karena yang kuinginkan mereka melihatku bahagia.
“Kok ngelamun sih?”, tanya Dani. Kami sedang berada di depan sekolah, menunggu teman-teman Dani kumpul semua. Mereka sedang berencana membuat surprise party untuk salah satu sahabat mereka. Cepat-cepat kugelengkan kepala, berharap dia tidak melihat kecemasanku. Aku teringat pesan nenek tadi pagi, beliau ingin kami pergi ke makam ayah bersama. Ya, hari ini tepat satu tahun meninggalnya ayahku.

Segerombolan anak SMA menaiki sepeda motor kearah pantai, masih lengkap dengan pakaian seragam. Sebagian ada yang tidak memakai helm, dan mereka kebut-kebutan. Yang aku cemaskan, aku adalah salah satu dari mereka. “ Apa gak apa-apa kayak gini? Kita mending pelan-pelan aja deh...”, kataku cemas di belakang Dani.
“ Hahaha, sekali-kali kamu harus belajar santai, Bunga! Aku capek ngikutin gaya kamu yang sok alim itu!”, teriak Dani di sela-sela keramaian suara motor. Perasaanku tak enak mendengar kata-katanya barusan. Ada yang aneh dengan cara bicaranya. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin benar aku harus sedikit santai. Karena aku memang terkenal tidak neko-neko di sekolah.
Akhirnya kami tiba di pantai, teman-teman Dani memarkirkan sepeda motornya di daerah jauh dari keramaian. Aku sedikit lega karena masih ada cewek lain selain aku di gerombolan ini.Entahlah, aku sedikit tak nyaman berkumpul dengan teman se-geng Dani yang terlihat agak urakan. Setidaknya tak pernah kulihat Dani seperti mereka. Dani seorang yang kalem, selalu sopan terhadap siapapun di sekolah.
“Yuhuuuuuu! Woy, gak lupakan sama yang gua pesen kemaren?”, seru Dani kepada temannya.
“ Pastilah sob, gua gak nyangka ternyata lu asik juga. Kenapa gak dari dulu? Hahaha...”
Kali ini perasaanku benar-benar tak nyaman. Ku tarik pelan lengan baju Dani, “ Sayang, katanya kita mau ngadain sureprise makan-makan doang. Kenapa ke pantai gini sih?”. Dani memalingkan muka kearahku, senyumnya tak pernah kulihat sebelumnya.
Dia berdeham, sebelum akhirnya berkata, “ Yah, memang gak ada acara makan-makan,gak ada ulang tahun, gak ada sureprise. Kita disini Cuma mau ngadain pesta, sayang...”. Aku kaget dengan apa yang dikatakan oleh Dani. Dan saat ini dia hanya tersenyum kearahku. Seakan aku juga akan senang dengan idenya.
“Sejak kapan kamu bohong sama aku? Kenapa gak bilang dari awal sih?”, tak kusadari nada suaraku amat kacau, sekacau emosiku. Tak bisa kubiarkan dia membohongiku seperti ini. Yang membuat aku juga terpaksa membohongi nenekku.
“Oh, come on... Jangan marah gitu dong. Santai... Kita nikmati aja saat-saat indah ini. Jangan buat aku menyesal pacaran sama kamu...Ok cantik?”, ku tepis tangan Dani yang mencoba mengelus rambutku.
“Kamu bukan hanya bohong, tapi kamu berubah Dan! Ada apa sih sebenarnya?”, tanyaku. Tapi kemudian perhatianku tertumbuk pada teman-teman Dani yang mengeluarkan beberapa botol minuman keras dari tasnya. “Woy, pesenan lo!”, katanya kearah Dani. Sebagian sudah ada yang meminumnya, bersama dengan pasangan mereka. Mereka menyetel musik dari radio dengan volume keras. Baru kusadari keputusanku untuk tidak mendengarkan perkataan Chacha adalah salah besar. Seharusnya kudengarkan sahabatku itu untuk pulang dan menemani nenekku saja.
Perlahan kuredam emosi beserta kekecewaan yang ingin meluap. “ Gak perlu aku kasih tahu, kamu pasti ngerti sendiri kan. Aku ingin kamu mengerti siapa aku sebenernya. Jangan buat aku terus jadi cowok alim yang kamu dambakan. Aku capek, Bunga!”, Dani berkata sambil mendekati wajahnya ke mukaku. PAR! Tak tersadar tanganku telah mendarat mulus kepipinya.
“ Aku benci kamu! Kenapa harus dengan cara ngebohongin aku? Selamat ya, kamu benar-benar buat aku surprise!!!”, kataku sambil berlari dari gerombolan yang semakin menggila itu.
“Hahaha, itu yang gua kagumi dari lo, Bunga! Watak lo yang keras itu yang bikin gua tertantang buat deketin lo! Tapi fine, sekarang lo gua lepas! Dan gua gak yakin lo bakalan tahu jalan pulang!”, teriak Dani dari kejauhan. Aku tetap berlari, meski nafasku tak beraturan karena aku berlari sambil menagis. Tak bisa aku bayangkan betapa bodohnya aku untuk terperdaya dengan cowok tengik seperti Dani. Ku temukan sebuah kenyataan, bahwa batapa menyedihkannya aku karena tak mempunyai seorang yang benar-benar mencintaiku. Aku telah lari dari keluargaku, dan menemukan penghianatan dari seseorang yang kusayangi.
Aku terus berlari, meski daerah ini sangat jauh dari jalan raya dan pantai sebenarnya. Langit bergemuruh serasa ikut memarahiku akan kebodohan yang ku lakukan. Sebentar lagi pasti hujan akan turun, dan melengkapi tangisanku saat ini.
Hanya satu nama yang teringat di benakku, dan aku sangat mengharap kehadirannya. Chacha. Kuraih handphone dari tasku, dan kutemukan handphoneku tak aktif. Sial, sepertinya Dani sengaja menjauhkanku dari gangguan siapa saja selama aku bersamanya. Tak bisa kubayangkan jika aku berada lebih lama lagi di antara mereka. Ku aktifkan handphone, kemudian bunyi beberapa pesan masuk. Hingga sepuluh pesan. Empat pesan dari nomor asing yang sama, dan enam pesan dari Chacha.
Ku buka pesan dari Chacha terlebih dahulu. Inti isinya sama : “Kamu dimana? Aku harap kamu baik2 aja, tadi kulihat kamu dengan segerombolan motor?”. Dan pesannya yang terakhir, “ Kenapa gak bls? Aku harap kamu sms, kamu dimana?”. Aku segera menghubungi Chacha, ku katakan keberadaanku sekarang. Dan apa yang telah aku alami. Dia sangat kaget, dan berkata akan segera mencariku.
Hujan semaki deras, beberapa orang terheran melihat siswi SMA berseragam sekolah di daerah pantai seorang diri. Kondisi udara membuatku semakin memikirkan nenek. Aku merasa sangat bersalah terhadapnya. Sudah satu bulan terakhir aku tak menggubris keadaan nenek. Aku benar-benar seorang anak yang berdosa.
Ku ingat beberapa pesan dari nomor asing yang tadi tak sempat ku baca. Segera ku baca isinya :” Bunga dimana? Mama datang, sayang, cepet pulang ya?”
“Bunga, kenapa tidak balas pesan mama? Mama ingin menjelaskan sesuatu sama kamu. Pulang ya...”
“ Setiap orang dewasa mempunyai masalah yang tidak bisa di ungkapkan , Bunga. Mama mohon kamu mengerti. Mama janji tidak akan meninggalkamu dan abang lagi”
“ Fertigo nenek kumat. Kakinya tidak bisa digerakkan. Dia khawatir sama kamu, katanya kamu sempat marahan sama nenek. Sayang, mengertilah dengan keadaan nenekmu sekarang...”
Pesan yang terakhir lima belas menit yang lalu. Lututku lemas, tubuhku berguncang karena air mata yang tak bisa berhenti mengalir, seiring dengan hujan yang mengguyur tubuh kurusku. Saat aku merasakan benar-benar sendiri, seseorang yang kuharapkan datang kembali dalam kehidupanku. “Mama... Bunga ingin cepat-cepat bertemu... Nenek, aku minta maaf sudah membuat nenek kecewa...”
Tin tin... Suara klakson mobil menyadarkanku. Chacha membuka pintu dengan payung di tangannya. Dia menggiringku masuk dan segera memberiku handuk kecil. Tanpa tanya, Chacha hanya diam membiarkan aku sesenggukan menangis di pangkuannya. Di elusnya rambutku hingga tangisku sedikit berkurang. Betapa aku memiliki sahabat yang sangat pengertian.
“ Apa lebih baik kamu nginap di rumahku? Aku tahu kalau kamu dan nenek...”, aku segera menempelkan jari telunjuk ke bibir Chacha.
“Rumah... Aku pengen pulang ke rumah...”, kataku dengan suara serak tak berdaya. Chacha sedikit kaget mendengar perkataanku. Tapi kemudian dia tersenyum, dan memelukku.
“Memang tak ada tempat yang indah untuk pulang. Selain rumah, Bunga....”

By: Lustige Maedchen XI Ap

0 komentar:

Posting Komentar

 

Leben Notizen Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template